Sabtu, 21 Maret 2015

Album Kenangan: “Memanen Ketimun”



“Memanen Ketimun”
Oleh: Fikri A. Gholassahma


Begitu nikmatnya menjadi manusia. Sesekali, kita bisa dengan leluasa kembali ke masa yang telah lalu. Di lain kesempatan, kita bisa mendatangi masa depan. Tidak perlu menciptakan mesin waktu, sebetulnya. Pintu kemana saja milik Doraemonpun kiranya tak perlu. Perjalanan ke masa lalu dan masa depan itu bisa kita lakukan sambil berjalan, sabil duduk pun bisa, tapi posisi yang paling enak adalah sambil berbaring. Ya, itulah kelebihan kita sebagai manusia, perjalanan kemana saja, bisa kita lakukan. Walaupun hanya…. dalam fikiran. Belum tentu hal ini bisa dilakukan hewan dan tumbuhan, bukan?
Orang bilang, hujan menyimpan suatu kekuatan mistik. Terasa. Bagi ku pribadi, ia bak teman yang acapkali mengajak kita untuk bermain. Bermain dalam rintiknya, berlari dalam rinainya. Seperti kala ini, ia datang kembali mengetuk-ngetuk kaca jendela. “Mari kawan, lekas lah bersiap. Akan ku antar kau ke masa itu. Masa saat kau berlari dengan bebas…menari-nari dalam rinaiku”, bisiknya. “Mari…” jawabku. “Ini waktumu…, nikmatilah” pungkasnya.
Aku terpejam, hanya terdengar gelegar petir dan gemuruh kawanku yang kian menjadi. Ia mengajakku ke empat belas tahun yang lalu.  Masa-masa yang terlupakan karena tertindih hal-hal yang datang dan pergi tak karuan. Saat itu hari Sabtu. Sekolah libur karena tanggal merah di kalender. Aku tak ke mana-mana, diam saja di rumah. Memang bisa dikategorikan anak yang kuuleun & kurung batokeun. Hanya bermain di sekitar wilayah rumah. Paling jauh hanya sampai ke desa sebelah. Atau, di lingkungan sekolah, karena aku tak bersekolah di desa tempat ku tinggal.
“Fikri…, urang ameng…!” suara itu tak asing bagiku. “Fikri…, urang ameng!” ya itu suaranya. Temanku, Fauzan namanya, Jan-jan panggilannya. Temanku sejak sebelum masuk sekolah dasar, hingga kini. Ia yang mengenalkanku pada berbagai ragam permainan kanak-kanak. Panggal, ngadu muncang, langlayangan, dll. Anak tangguh dan pemberani. Pernah sekali ia hampir ditampar oleh seorang kakek. Karena bola sepak yang kami mainkan masuk ke kebun miliknya. Si kakek sudah terkenal sangar, terutama pada anak-anak.  Tak ada seorangpun yang berani mengambil bola. Kecuali, ya si Jan-jan. Dengan tanpa pikir-panjang ia langsung turun ke kebun dan membawa bola. Dengan gagah berani ia berjalan melalui semak-semak, dan menginjak deretan sosin yang tertanam dengan rapi. Walhasil ia harus menerima cari-maki dari sang pemilik kebun, si kake yang galak, bahkan hampir ditampar.
Sabtu itu, ia mengajakku bermain. Ada yang janggal dengan-nya hari itu. Bila bermain, biasanya ia hanya memakai celana pendek, kaos oblong dan tak bersandal. Menjinjing truk mainan kecil, membawa segepok gambar, atau muncang. Atau membawa golongan kenur untuk bermain layang-layang. Kala itu, ia tak membawa barang-barang tadi. Hanya membawa kantung kecil yang sering kami sebut kanjutkundang, dan …. kerupuk!
Ketika terpejam, sempat aku tersenyum. Bagiku hal itu sangat lucu.
Kami biasa berjalan kaki untuk sampai ke sebuah lapang dekat rumah, tempat kami bermain.  Karena seringnya kami bermain, aku tertular beberapa kebiasaannya. Seperti…, bermain tanpa sandal. Kami biasa seperti itu, di permulaan memang terasa sakit. Ketika kulit kaki bergesekan dengan kerikil-kerikil kecil yang tak mau menyingkir saat kami berjalan. Tapi seperti pepatah bilang, “ala bisa, karna biasa”. Akhirnya, kulit telapak kaki kami tak pernah risih kembali, bila bergesekan dengan kerikil.
Gamabar: Google
Biasanya kami bermain tanpa arah. Terkadang, dalam sehari—ketika libur—kami bisa memaikan emapat hingga 5 permainan. Hidup untuk bermain. Ketika itu bermain memang menjadi rutinitas. Kami belum terbebani tugas membuat makalah, atau presentasi kelompok dadakan. Ia membawa ku sesebuah lapangan luas. Orang desa biasa menyebutnya lapang saar. Tempat bermain bola, olah raga, dan bahkan untuk balap merpati. Lapang itu menjadi bagian hidup kami semasa kecil, kini hamparan hijau itu telah salin rupa menjadi jajaran perumah bernama Tirta Regenci, milik babah yang entah datang dari mana.
Setelah berjalan mengitari pinggiran lapangan, kami terus berangkat. Ia bilang, “sepertinya kita harus segera pergi”. “Ke mana?” tanyaku. “Nanti kau tahu” ujarnya sambil tersenyum. Ia berjalan dengan tergesa-gesa. Langonsari Indah sudah terlewati, kini sudah sampai di perbatasan antara Langonsari dan Pameutingan. Ia tiba-tiba berhenti di jembatan penghubung kedua desa itu. “Airnya tak teralu deras, cocok untuk bermain…” gumamnya. “kita akan bermain di Cisangkuy?” tanyaku. “Tidak, hari ini. Kita akan ke irigasi di Cihérang” jawabnya.
Cisangkuy adalah anak sungai Citarum. Dulu, kata nenek-kakekku airnya jernih tak berbeda jauh dari sumbernya, di Cisanti. Ia menjadi bagian penting bagi penduduk desa Langonsari dan Pameutingan.  “Kami mandi, mencuci dan bermain di Cisangkuy. Bahkan, di hari-hari tertentu, seperti Iedaén dan 17-an, sungai Cisangkuy akan dipenuhi warga. Anak-anak bermain “paparahuan”, dan orang dewasa menggelar tikar di bibir sungai. Tidak perlu berangkat ke Ciwidey atau ke Pangalengan bila ingin refresing”, dongeng kakek ku dulu.
Ibu juga pernah bercerita, di dekat sungai, dulu ada sebuah pohon besar, pohon loa. Dahan-dahannya yang besar dan kuat, menjadi tempat Favorit anak-anak bergelantungan dan melompat ke Cisangkuy yang berada di bawahnya. Sayangnya, generasi ku tak sempat mengalami hal itu. Ketika kami tumbuh, keindahan Cisangkuy hanya tersisan sedikit, Pohon loa telah tiada, jernih Cisangkuy pun menjadi kecoklatan. Usut punya usut, karena mulai bermunculan pabrik-pabrik yang dengan sengaja membuang limbah ke alirannya. Kami hanya sempat turun dan bermain dipinggirannya, sambil mencari keuyeup dan ikan tampélé. Paling rugi adalah generasi adikku. Ia yang lahir sepuluh tahun setelahku, hanya mendapati Cisangkuy yang lain. Cisangkuy yang telah berubah menjadi Cihideung. Aliran airnya begitu hitam, juga bau.
Kini kami tengah berjalan menyusuri gang-gang di Pameutingan. Setelah melewati beberapa jalan agak besar, kami pun tiba di area pesawahan yang luas. Mayoritas penduduk di sisni adalah petani, tapi untuk selingan, terkadang mereka berkebun. Menanam écéng, bayem dan mentimun. Kala itu sedang musim mentimun. Sawah-sawah menjadi kebun mentimun. Beberapa petani telah keliatan memanen mentimun yang mereka tanam. Berton-ton mentimun diangkut keatas delman. Mobil dolak belum begitu ramai kala itu. “Mari, Fik. Kita langsung menyusup saja” bisiknya sambil tertawa. “Kita mau apa? Ngurek? Bukannya sedang tak musim belut?” tanyaku. Deretan pertanyaan dari ku ia hiraukan. Ia hanya tersenyum, berjalan terus menyusuri pematang sawah. Aku megikutinya.
Kini, ia berjalan sedikit mengendap-endap. Badannya dibungkukkan, matanya menerawang ke segala aran. Kemudian berisarat padaku agar tetap diam dan tak membuat keributan. Kami berhenti di depan sebuah kebun mentimun yang telah berbuah. Timun-timun bergelantungan, siap dipanen oleh yang punya. “Nah, ini dia yang kita cari” bisiknya sambil tersenyum. Melihat gelagatnya, aku makin heran. “Fik, tolong pegang ini dulu” sambil menyodorkan kerupuk yang dari tadi ia bawa. Kugapai kerupuk itu, dan serta-merta menggigit plastik yang membungkusnya. “Tunggu sebentar” bisiknya. Dengan cekatan, ia memetik beberapa ketimun masak dan besar. Ia jatuhkan di pinggir, beberapa ia masukkan kedalam kanjutkundang.
Ia mendekatiku, kami kemudian jongkok agak membungkuk di petakan sawah itu. “Begini, biar kucontohkan” ucapnya sambil tersenyum. Ia mengambil kerupuk yang telah ku buka bungkusnya. Tangan kanannya memegang kerupuk, dan tangan kirinya memegang mentimun. “grauk…!” ia menggigit kerupuk terlebih dahulu. “grauk…!” disusul dengan hantaman giginya  yang mendarat di mentimun segar, menyusul gurih renyahnya kerupuk yang telah lebur dalam mulutnya.
 Aku tersenyum, tanpa intruksi darinya, langsung saja ku tiru apa yang telah dahulu ia lakukan. “Grauk…!”, “grauk…!” kerupuk dan mentimun lebur di mulutku. Aku menatap ke langit. Ini begitu nikmat. Hingga sebungkus besar kerupuk itu habis, kami terus pulang. “Inilah enaknya bila datang ke sini. Ada mentimun petik sendri”. Ucapnya, seperti biasa…sambil tersenyum. Kami pun tertawa.
Gelegar petir yang sangat kencang membuatku terperanjat. Aku terbangun dari lamunan, hujan masih menari di luar. “Terimakasih kawan” gumamku. “Itu perjalanan yang asyik…” Beberapa hari yang lalu, aku sengaja berjalan ke Pameutingan. Begitu sedihnya, saat ku tahu “kebun timun petik sendiri” yang dulu sering kami datangi, kini telah menjadi pabrik tekstil, yang menurut rumornya, dimiliki oleh babah sipit. Kerupuk & mentimun, lebur dalam ingatan. ***
LPIK, Maret 2015. Saat para lelaki dewasa tengah bersiap untuk Jum’atan.

Kamis, 19 Maret 2015

“Basa Sunda Haétsu Mâ Kunta”




“Basa Sunda Haétsu Mâ Kunta
Ku: Dukun Lepus*

Nénéng Mingkeu: Jati Kasilih ku Junti
Panggih jeung Néng Mingkeu téh basa mimiti asup kuliah. Kabeneran harita sababaraha poé mimiti éféktip kuliah. Barang gok amprok, solongkrong manéhna nyodorkeun leungeun kéncana, bari pok, “kenalin, aku Mingkeu. Salam kenal ya…!”, bari imut ngagelenyu. Semet di bales ku imut deui. Tului manéhna mapay wawanohan ka saban lalaki di kelas, da jeung awéwéna mah geus katinggali loma. Bari jeung teu tinggaleun, norowéco ku Basa Énonésa.
Nyaritana capétang, keukeuh maké basa Énonésa. Teu cara awéwé nu lian, carang takol. Sapopoé énerjik, teu bauan.  Dina stélan saliwatan mah matak kataji.  Lebah nga-mécingkeun baju nu dipakéna. Sakapeung ngota abis, sakapeung basajan.  Tiungna, tiung ala komunitas hijaber rarancang Dian Pelangi, julat-jalit, ciga ema-ema nu rék metik entéh. Baju geblus ngarumbay semet pingping, tawa diasupkeun kana erok. Kapeung, ukur maké tiung lumrah  kelir coklat, kahandapanana maké kaméja panél nu kelirna sarua, jeung blué jins leupeut.  Sapatuna mérek All Star, atawa Convérsé. Ceuk panempo jajaka nu keur meujeuhna balég tampélé mah, “Aya ku nyari!”. Dina cara nyarita, jeung kawani-na, atra pisan…wanoja kota! Wanoja métropolitan. Panyangka mah meureun urang Batawi, atawa mun lain gé, boa wanoja ti dayeuh mana.
Sabot absénsi geus mimiti aya—dina minggu éta kénéh mun teu salah mah— kabeneran wé, aya instruktur nu iseng. Nataan & nanyaan mahasiswa hiji-hiji. Ti mimiti ngaran, sakola/institusi méméh asup kuliah, ogé ditanya lembur séwangséwangan. Cunduk bagian si Nénéng Mingkeu nu ditanya. Tara-tara ti sasari teu bacéo. Ukur balaham-béléhém semu nu éra. katohyan, yén si Nénéng Mingkeu téh—nu ceuk panyangka mah ti dayeuh jauh—horéng urang Sunda.  Ibu – ramana, malah nepi ka bao-kakaitsiwurna gé urang Sunda.
Néng Mingkeu urang Sunda pituin. Ngaran aslina gé Rikeu Laélasari. Ramana, urang Pasir Kalapa, hiji lembur tapel wates antara Kabupatén Bandung jeung Kabupatén Bandung Barat. Indungna urang Ci hideung, Sindangkasih, Kabupatén Ciamis. Démi dijurukeunana di lembur indungna, di Ciamis. Mangsa umur dua taunan, inyana dicandak ngalih ku ibu-ramana ka Jakarta, lantaran ramana katarima gawé di hiji pausahaan nu kasohor di Batawi.  Balik deui ka lemburna, nya pas rék asup kuliah. Da ramana pindah gawé ka Bandung.
Gambar beunang: Googlé
Kungsi ngobrol paduduaan jeung Néng Mingkeu, mangsa nuangguan instruktur nu teu jebul-jebul baé. Pangangguran tatanya ka manéhna maké basa Sunda. “Please Fik! Gua gak ngerti. Pake bahasa Indonesia aja ya! Biar konek…” manéhna ngadilek semu jengkél. Ari Kuring panasaran, mindo nanya deui, naha inyana bet teu bisa nyarita maké basa Sunda. “Emang gué gak bisa. Bisa sih, tapi dikit-dikit”, pungkas si Mingkeu tandes. Derekdek si Mingkeu ngaguar lalakonna. Balukarna, nu jadi marga lantaran si Mingkeu teu bisa nyarita ku basa Sunda téh, sab ti leuleutik ku kolotna teu diwarah nyarita maké basa Sunda. Samalah sapopoéna, basa panganteur nu dipaké di imahna téh maké basa Énonésa. Katambah sabudeureunana taya nu- ngajak nyarita ku basa Sunda. Da mayoritas urang Batawi, deuih, nu liana nyarita ku basa Énonésa hungkul (leuh, teu nyalahan panyangka téh). Lamun kaparengkeun keur pakanci (lebaran atawa libur sakola), osok tagé balik ka lembur nini-akina. Ngan sarua baé, nu ngarajak nyarita téh maraké basa Énonésa, pédah lentongna baé ku Sunda. Walhasil, Nénéng Mingkeu—alias Rikeu Laélasari—téh, capétang nyarita ku basa Énonésa, perenahna ku basa Énonésa yang tidak baku.
Méré Atikan  Basa Indung
Néng Mingkeu, meureun hiji diantara sawatara urang Sunda biolohis, nu teu bisa nyarita maké basa Sunda. Ras inget kana pangalaman Pa’ Ajip Rosidi. Kantos anjeuna ngagaleuh bungbuahan di sisi jalan, di Tatar Sunda. Najan naros maké basa Sunda, tukang dagang buah téh bet ngajawab ku Basa Énonésa. Padahal teu sak deui yén tukang buah téh urang Sunda pituin (Rosidi, 2007: 153). Kamari basa taun 2014 wekasan, PT. Kiblat Buku Utama medalkeun deui buku anjeunna, judulna “Kudu Dimimitian Di Imah”. Antologi Éséyna ngeunaan basa & budaya Sunda, katut sawatara tokoh budaya urang Sunda, ditambahan ku seratan ngeunaan Prof. Dr. A. Teeuw—urang Walanda anu mitineung kabudayaan, pangpangna Sastra Énonésa.
Dina tulisan nu dijudulan Kudu Dimimitian Di Imah, Pa Ajip méré dua tamsil perkawis atikan basa Sunda. Kahiji, nyaritakeun Ki Silah—lain ngaran asli—urang Sunda pituin, anu téga lara téga pati, bajoangan sangkan Ki Sunda Nanjeur. Boh basana, boh budayana. Malah nepika méh opat taunna nyirekem di pangbérokan. Nya alatan ngabéla Ki Sunda. Mangsa Pa Ajip nyumpingan weweton Ki Silah, bét asa aya nu ahéng. Nalika putrana nu cikal, nganuhunkeun ka nu jadi ramana, maké basa Inggris. Tuluy adi-adina, nganuhunkeun jeung ngawilujengkeun maké basa Énonésa. Naha teu maké basa Sunda? Naha Ki Silah anu bajoang keur Ki Sunda teu melakkeun saeutik-eutik acan kasundaan ka pala putrana? Jigana téh basa nu dipaké sapopoé di Imahna, maké basa Inggris, salian ti Énonésa.
Kadua, Pa Ajip nyaritakeun, aya nu ngabéla kana kajadian nu karandapan ku Ki Silah. Pajarkeun kitu téh, pédah Ki Silah sakulawaraga lila nganjrék di mancanagara. Barudakna sarakola di mancanagara. Nu matak munasabah baé lamun palaputrana make basa Inggris. Ku Pa Ajip ditémpas. Ka singsaha baé anu ngabogaan pikiran kitu, aya diplomat urang Sunda, anu leuwih senior manan Ki Silah, jeung leuwih lila hirupna di mancanagara. Tapi di kulawargana, geureuhana, pala putrana—nu sadayana sakola di manca nagara—sapopoéna maké basa Sunda. Hiji mangsa, putrana kantos nyarita ka Pa Ajip, najan ari basa nu dipaké basa Prancis, tapi ari di Imah mah diwarah jeung dibiasakeun maké basa Sunda (Rosidi, 2014: 11).
Bangun méh sarua antara kasus Néng Mingkeu jeung Kulawarga Ki Silah—dina pangalaman Pak Ajip. Enya gé pada-pada turunan Sunda biolohis (pedah Mingkeu mah teu lahir & sakola di mancanagara), tapi alatan teu dibiasakeun ti leuleutik nyarita ku basa Sunda, éstuning duanana teu bisa nyarita maké basa Sunda.
Haji Hasan Mustapa kungsi nerangkeun, yén dina adat-kabiasaan urang Sunda, posisi nu ngatik-ngadidik téh nyaéta kolot/ nu geus kolot (leuwih kolot umurna batan nu diatik), loba luangna (ceuyah ku pangalaman, legok tapak genténg kadék), masih kulawarga/aya sipat dulur (Mustapa, 2010: 6). Di imah nya nu kasebut kolot téh indung-bapa téa(lamun nini-aki tas teu aya dikieuna). Duanana miboga pancén nu urgén, dina raraga ngatik ngadidik pala putrana. Utamina lebah ngatik-ngadidik, ngabiasakeun maké basa Indung. Di Imah, antara salaki- pamajikan, kolot jeung budak, jeung papada dulur, ogé di lingkungan sabudeureunana, sangkan barudak bisa nyarita ku basa indung, nya kudu dicontoan atawa dibiasakeun make basa Indung.
Upama dititénan, barudak dialajar basa Indungna—basa naon baé, Sunda, Jawa, Batawi, jrrd—kahiji, ti indung-bapana. Kadua, ti lingkunganana, masarakat sabudeureunana. Katilu, di sakola. Kaopat, tina bacaan(Rosidi, 2014: 11). Lamun indung-bapana ngatik-ngadidik, ngajurung, sangkan anak-anakna nyarita maké basa Sunda, tangtu barudakna baris bisa tatag nyarita ku basa Sunda. Mana komo mun ninggal kaayaan ayeuna, aya nu indung-bapana geus teu pati ngawarah(boa aya nu nepi ka lur-jeun cara kasus Néng Mingkeu & Ki Silah) sangkan budakna nyarita maké basa Sunda. Modél nu kaperhatikeun di dayeuh-dayeuh nu aya di Tatar Sunda(najan teu kabéh).
 Lamun matuh di lingkungan anu mayoritasna urang Sunda, budak baris bisa nyarita ku basa Sunda—najan ku kolotna teu pati diwarah—nya ti babaturanana. Biasana kekecapan nu mahabu sabangsaning “anjing”, “goblog”, jrrd. Di sakola, basa Sunda ukur jadi mata pangajaran (baca: mata kuliah), ilaharna panganteurna ku basa Énonésa. Jadi diajar basa Sunda via basa Énonésa. Dapon nyokot matkul basa Sunda gé, tamba teu kosong teuing nilai. Jeung deuih, boa nu ngajar/instrukturna gé teu tangtu tapis nagagunakeun basa Sunda. Katambah murid/mahasiswana, henteu dijurung sangkan maraca bacaan nu maké basa Sunda. Antukna téh teu aya kereteg keur nginjeum ka perpusatakaan, jajauheun bébélaan meuli mah. Éh, kela. Najan enya di kampus urang aya perpustakaan, tapi asa teu kungsi manggihan buku bacaan basa Sunda.  
Basa Sunda: Mâ lâ yudraku kulluhu, lâ yuthraku kulluhu
Geus ti mangpuluh-puluh taun katukang, basa Sunda téh pada mikahariwang. Bisi kitu-kieu, pajar bakal pareum, bakal musna-sirna, nya punah téa. Mun enya mikanyaah, mun enya mihariwang, tangtuna baé kudu aya laku nu nyata. Lebah réalisasina, lain saukur catur tanapa bukur. Sahenteuna, keur urang Sunda, gunakeun basa Sunda haitsu mā kunta. Di mana baé anjeun (nu ngarasa urang Sunda) aya.
 Kumaha ari réalisasi tina basa Sunda haitsu mā kunta téh? Ceuk sauingeun mah, bisa dimimitian ti awak sakujur. Paké basana, baca bukuna, jeung tuliskeun. Keur di sabudeureun civitas akademika, meureun teu salah mun aya instruktur anu ngajar maké panganteur basa Sunda. Mahasiswana kalayan interaktif ngajawab make basa Sunda. Tangtuna baé jeung papada urang Sunda. Lebah ka nu lain mah, nya ngaragangan baé, paké basa nasional. Dina gunem catur sapopoé, anata papada mahasiswa urang Sunda, ngawangkong téh ku basa Sunda. Atawa, ambahan  legana, keur  nahan lambak pangaruh globalisasi anu beuki ngagulidag nataku, kudu aya tarékah leuwih keur nungkulanana. Kudu aya inovasi nu mutahir, sangkan barudak jaman kiwari katajieun dijar jeung make basa Sunda. Model ngayakeun lés tupel basa Sunda. Nu metodena meh sarua jeung tupel basa Inggris/basa deungeun nu lian.  
Nulis kieu téh kajurung ku bakat. Bakat ku butuh. Butuh keur diajar, butuh keur nyumponan jangji ka diri, ngarumasakeun manéh jadi séké-sélér Sunda. Tangtuna baé kumelendangna di dieu, di tatar Sunda. Aya karep keur ngamumulé basana. Najan teu bisa medalkeun karya nu paripurna, sahenteuna milu icikibung dina séah jeung gulidagna. Lain asa pang-Sunda-na, asa pang-budaya-na. Teu pisan-pisan. Inggis magar humayua. Ngan sabot nginget-nginget deui, aya kaidah ushul anu nerangkeun Mâ lâ yudraku kulluhu, lâ yuthraku kulluhu. Naon anu ku anjeun teu kagéroh sakabéhna, ulah rék titinggalkeun sakabéhna. Lebah dieu rasa rumasa téh bedah, teu kaampeuh. Maksakeun saya-aya, najan bari tisusud-tidungdung.
Dina buletin “Kamar Kecil” nu medal sasih ieu (édisi 6, 2015), wasilah ti Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN SGD Bandung, kuring bisa ngeureuyeuh nyumponan jangji. Maniféstasi tina  idiolohi gunakeun basa Sunda haitsu mā kunta. Dipapag ku du’a jazākallāhu khairal jazā, bil husus ka LPIK jeung ka guru-guru nu kungsi ngajarkeun kuring basa Sunda. Umumna, ka kanca nu kersa maca ieu tulisan. Sakalian ngajak ka kanca sadaya, cuang babarengan nyarita jeung nulis maké basa Sunda. Sahenteuna, ulah nepi ka pareum, ulah nepi ka paéh. Tong waka ngemutan sieun salah, sieun disebut dusun pedah teu nyaho undak-usukna. Itung-itung ti maniféstasi mâ lâ yudraku kulluhu, lâ yuthraku kulluhu. Rumasa demi ieu  tulisan téh jajauheun ka ‘leuheung’, jauh tanah ka langit. Tapi, taya lian nu dipalar téh mugia aya mangpaatna. ***
*) Kurawa LPIK (Lembga Pengkajian Ilmu KeIslaman) UIN SGD BDG, sakapeung jadi mahasiswa  KPI semester IV
Daftar Bacaan:
Danadibrata, R. Alla, Kamus Basa Sunda. Bandung: PT. Kiblat Buku Utama, cit. 2, 2009.
Dangiang: Jurnal Kebudayaan Sunda, Lonceng Kematina Bahasa Sunda. Edisi III-April, 2002.
Mustapa, H. Hasan, Adat Istiadat Sunda. Bandung: PT. Alumni. Edisi-III, cit. I, 2010. Diterjemahkan oleh, M. Maryati Satrawijaya, dengan judul asli, Bab Adat-adat Urang Priangan jeung Urang Sunda Lian ti Éta.
            Rosidi, Ajip, Urang Sunda Jeung Basa Sunda. Bandung: PT. Kibkat Buku Utama, cit. 1, 2007.
Rosidi, Ajip. Kudu Dimimitian Di Imah, Ku Basa Sunda Ngatik Manusa Indonésia. Bandung: PT. KIblat Buku Utama, cit. 1, 2014.