Oleh: Dukun Lepus*
![]() |
Gambar oleh: Google |
Sejatinya
saling memberi adalah salahsatu fitrah manusia dalam menggapai kebahagiaan. Karenanya hal
ini menjadi kebaikan yang universal di semua lapisan masyarakat di seluruh
penjuru dunia. Tak dibatasi oleh agama, kultur, dan ras, ia selalu hadir
menyertai proses menuju kebahagiaan dalam kehidupan manusia secara keseluruhan.
Sebelum
agama (wahyu) memberi celupan indoktrinasi perihal kebaikan kepada manusia,
kebiasaan saling memberi telah ada. Misalakan, di kebudayaan Sunda ada
petuah-petuah untuk silih asah, silih asih dan silih asuh. Silih dalam
bahasa Indonesia sepadan dengan “saling”, Ia bermakna resiprok. Silih asih, bermaknakan
anjuran untuk saling mengasihi/memberi kasih.
Islam datang
memberikan sibgah kepada tradisi yang ada. Anjuran untuk saling berbagi,
salaing menolong, dan saling mengingatkan, begitu kentara dalam ajarannya.
Melegitimasi anjuran-anjuran yang telah ada dalam budaya (dalam konteks ini
adalah “memberi”). Dalam Islam, ada ritus berupa zakat, infaq, & shadaqah.
Zakat
menempati posisi urgen dalam Islam. Menurut para ahli fiqih, hukumnya adalah
ibadah mahdzoh. Telah ada aturan-aturan aksiomatis, dari nabi dan Tuhan.
Seperti shalat, shaum dan hajji.
Fungsinya untuk membersihkan harta dan menyalurkannya kepada
golongan-golongan yang berhak (mustahiq). Kemudian infak dan shadaqah
dalam esensinya sama dengan zakat. Namun memang masing-masing berbeda
dalam kedudukan hukum dan pelaksanaannya.
Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan dalam shahihain, rasulullah SAW pernah
menerangkan bahwa ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan dari Allah, di
hari tak ada lagi naungan kecuali naungan dariNya. Salah satunya yakni golongan
orang yang ketika bershadaqah, tangan kirinya tidak tahu apa yang tangan
kanannya berikan. Mungkin ini adalah sebuah metafor, menunjukkan ketika
berinfak/bershadaqah lebih baik agar
tidak diumbar. Jauh dari niat hanya ingin dipuji semata, didasari niat yang ikhlas.
Disadari
atau tidak, selalu saja ada yang mengintai dibalik sebuah amalan. Ia yang
nantinya akan menggerogoti substansi amal yang telah kita perbuat. Lebih
parahnya, menjadikan amalan yang telah kita lakukan tak bersisa. Bak debu yang
ditup angin. Rasulullah SAW dalam satu waktu pernah menyampaikan kegelisahannya
kepada para sahabat. Ia khawatir dan takut, bila terjadi “syirik kecil” di
ummatnya, yakni ar-riyaa. Riya adalah mengharapkan ganjaran selain dari
Allah. Hal ini lah yang menjadi bayang-bayang yang mengintai dalam setiap amal
yang kita perbuat.
Kita
berinfak karena ingin dipandang sebagai sebagai dermawan. Rajin shalat karena
ingin disebut sebagai ahli ibadah dan orang shaleh. Rasulullah konon pernah
menggambarkan kejadian di keabadian nanti, akan datang segolongan orang yang
menghadap kepada Allah dan menagih pahala (surga) atas amalan-amalan mereka
selama di dunia. Allah malah berpaling, mengusirnya, dan menyuruhnya untuk menagih pahala selain
kepadaNya. Kepada orang-orang yang waktu dulu menjadi alasan mereka beramal.
Maka ketika mereka mendatangi orang-orang tersebut, tiadalah yang mereka dapati
kecuali keputusasaan dan nihil yang nyata.
Ada seorang
ahli hikmah yang menggambarkan bahwa syirik kecil itu, bak semut hitam yang
sedang merangkak di batu hitam, pada kegelapan gua nun jauh dalam hutan
belantara. Saking susahnya untuk menyadari keberadaannya, sulit untuk
dideteksi, mengintai dengan potensi yang
sangat kuat untuk menyelinap di setiap amal kita. Perlu mencurahkan perhatian
dan kesadaran yang ekstra dalam setiap amal. Berhati-hati agar ia tidak
menyelundup kedalam amal kita. Mulai dengan langkah pertama, berpijak pada niat
yang ikhlas. Selangkah demi selangkah menapaki jalan menanjak dan terjal untuk
menuju keridlaanNya. Semoga.
*) Kurawa
yang sedang kebingungan, karena tak pandai bersinergi dengan sang waktu.
0 komentar:
Posting Komentar