Minggu, 04 Januari 2015

BAYANG-BAYANG DI BALIK MEMBERI




Oleh: Dukun Lepus*

Gambar oleh: Google
Sejatinya saling memberi adalah salahsatu fitrah manusia dalam menggapai kebahagiaan. Karenanya hal ini menjadi kebaikan yang universal di semua lapisan masyarakat di seluruh penjuru dunia. Tak dibatasi oleh agama, kultur, dan ras, ia selalu hadir menyertai proses menuju kebahagiaan dalam kehidupan manusia secara keseluruhan.
Sebelum agama (wahyu) memberi celupan indoktrinasi perihal kebaikan kepada manusia, kebiasaan saling memberi telah ada. Misalakan, di kebudayaan Sunda ada petuah-petuah untuk silih asah, silih asih dan silih asuh. Silih dalam bahasa Indonesia sepadan dengan “saling”, Ia bermakna resiprok. Silih asih, bermaknakan anjuran untuk saling mengasihi/memberi kasih.
Islam datang memberikan sibgah kepada tradisi yang ada. Anjuran untuk saling berbagi, salaing menolong, dan saling mengingatkan, begitu kentara dalam ajarannya. Melegitimasi anjuran-anjuran yang telah ada dalam budaya (dalam konteks ini adalah “memberi”). Dalam Islam, ada ritus berupa zakat, infaq, & shadaqah.
Zakat menempati posisi urgen dalam Islam. Menurut para ahli fiqih, hukumnya adalah ibadah mahdzoh. Telah ada aturan-aturan aksiomatis, dari nabi dan Tuhan. Seperti shalat, shaum dan hajji.  Fungsinya untuk membersihkan harta dan menyalurkannya kepada golongan-golongan yang berhak (mustahiq). Kemudian infak dan shadaqah dalam esensinya sama dengan zakat. Namun memang masing-masing berbeda dalam kedudukan hukum dan pelaksanaannya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dalam shahihain, rasulullah SAW pernah menerangkan bahwa ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan dari Allah, di hari tak ada lagi naungan kecuali naungan dariNya. Salah satunya yakni golongan orang yang ketika bershadaqah, tangan kirinya tidak tahu apa yang tangan kanannya berikan. Mungkin ini adalah sebuah metafor, menunjukkan ketika berinfak/bershadaqah  lebih baik agar tidak diumbar. Jauh dari niat hanya ingin dipuji semata,  didasari niat yang ikhlas.
Disadari atau tidak, selalu saja ada yang mengintai dibalik sebuah amalan. Ia yang nantinya akan menggerogoti substansi amal yang telah kita perbuat. Lebih parahnya, menjadikan amalan yang telah kita lakukan tak bersisa. Bak debu yang ditup angin. Rasulullah SAW dalam satu waktu pernah menyampaikan kegelisahannya kepada para sahabat. Ia khawatir dan takut, bila terjadi “syirik kecil” di ummatnya, yakni ar-riyaa. Riya adalah mengharapkan ganjaran selain dari Allah. Hal ini lah yang menjadi bayang-bayang yang mengintai dalam setiap amal yang kita perbuat.
Kita berinfak karena ingin dipandang sebagai sebagai dermawan. Rajin shalat karena ingin disebut sebagai ahli ibadah dan orang shaleh. Rasulullah konon pernah menggambarkan kejadian di keabadian nanti, akan datang segolongan orang yang menghadap kepada Allah dan menagih pahala (surga) atas amalan-amalan mereka selama di dunia. Allah malah berpaling, mengusirnya, dan  menyuruhnya untuk menagih pahala selain kepadaNya. Kepada orang-orang yang waktu dulu menjadi alasan mereka beramal. Maka ketika mereka mendatangi orang-orang tersebut, tiadalah yang mereka dapati kecuali keputusasaan dan nihil yang nyata.  
Ada seorang ahli hikmah yang menggambarkan bahwa syirik kecil itu, bak semut hitam yang sedang merangkak di batu hitam, pada kegelapan gua nun jauh dalam hutan belantara. Saking susahnya untuk menyadari keberadaannya, sulit untuk dideteksi,  mengintai dengan potensi yang sangat kuat untuk menyelinap di setiap amal kita. Perlu mencurahkan perhatian dan kesadaran yang ekstra dalam setiap amal. Berhati-hati agar ia tidak menyelundup kedalam amal kita. Mulai dengan langkah pertama, berpijak pada niat yang ikhlas. Selangkah demi selangkah menapaki jalan menanjak dan terjal untuk menuju keridlaanNya. Semoga.
*) Kurawa yang sedang kebingungan, karena tak pandai bersinergi dengan sang waktu.    



0 komentar:

Posting Komentar