Oleh: FAG*
Matahari
berpamitan kepadanya. Pada pria tua yang berpakaian lusuh itu. Pria yang tak
bisa berontak pada waktu. Keriput dan kilauan putih rambutnya, menjadi isyarat,
akan begitu banyak hal yang telah ia lewati. Pernah dibakar hidup-hidup, sang
istri yang diambil oleh raja lalim, dan penungguan panjangnnya akan kehadiran
sang penerus. Kisah-kisah yang kelak akan abadi, jadi ibrah & mau’idzoh,
bagi generasi-generasi setelahnya. Ia tampak gundah, bimbang, dan gelisah. Karna
satu mimpi yang terjadi semalam. Kemudian ia ceritakan mimpi ti kepada sang
istri, dalam keadaan haru, keduanya terdiam dalam keheningan yang bergemuruh.
“Nak, sebentar, ayahmu ingin bicara”,
ucapnya lembut, sembari mengusap kepala sang anak, penuh kasih.
“Silahkan Ayah, ada apa gerangan?”,
jawab sang anak dengan ekspresi penasaran.
“Nak, semalam ayah bermimpi tentang mu…”.
Suaranya sedikit tertahan.
“Apa yang engkau impikan tentangku, wahai ayah…?, apa aku menjadi
sesuatu yang mengagumkan di mimpimu?!” tanyanya penuh
semangat.
Ia
hanya membalas dengan senyuman. Kemudian meneruskan ceritanya.
“Nak, sesungguhnya dalam mimpi ayah
semalam, ayah menyembelih mu…” ada yang tak tertahan, yang memaksa keluar,
menetes dari matanya.
Ia
kembali teringat akan penantian panjangnya. Kini, tetika ia telah diakaruniai
seorang anak, ketika sang anak telah beranjak dewasa, ia malah harus
menyembelihnya.
“Bagaimana pendapatmu, mengenai
mimpi itu…? Pikirkan saja dahulu” ia kembali mengusap kepala sang
anak.
“Wahai ayah..., bilamana ini
adalah perintah Allah, lewat mimpu mu, maka Ayah, silahkan lakukan. Isya Allah engkau
akan dapati aku termasuk kepada golongan yang shabar…” jawabnya penuh
keyakinan.
Maka
bergegaslah keduanya untuk segera melaksanakan perintah dari Sang Maha itu,
lalu ketika pisau hampir menyentuh leher si anak, Ia Yang Maha pengasih,
menurunkan titah. Agar, si anak ditukar dengan sembelihan yang baik (dzibhin
‘adziim).***
Begitulah
kurang lebihnya gambaran yang diambil penulis dari al – quran, surah
As-Shaaffaat (37), ayat 98 – 11. Kisah abadi yang sampai kepada kita, juga yang
kelak akan sampai hingga akhir zaman. Bagaimana keshabaran kedua insan pilihan
Tuhan ini, betapapun, sungguh kentara. Inilah millah Ibrahim yang hanif.
Yang kemudian, spirit & prakteknya disempurnakan dalam ajaran yang dibawa
Muhammad SAW. Dalam ritus Qurban/nahr/nusuk .
Kata
qurban berasal dari kata qaruba – qarib, qaruba – qarib, yang
berarti dekat, mendekati. Aqrab lebih dejat, Aqrabun (kerabat
dekat). Bila huruf ro-nya ditasydid, jadi qorraba – qurbaanan artinya
mendekatkan, menghidangkan, mempersembahkan. Sedangkan dalam artian luasnya,
adalah mendekatkan diri kepada Allah, mengharapkan ridlaNya, dan mengorbankan
segala yang kita miliki. Ibadah kita adalah kurban. Shalat adalah kurban kita
meluangkan waktu & perhatian, khusus ditujukan hanya kepadaNya. Begitupun
kuliah (tholab ‘ilmu) dan berbagi rokok. Bila didasari dengan niat tulus
dan ikhlas, janganlah khawatir. Ia Yang Maha, akan membalasnya.
Pada
ritus Qurban, yang disyari’atkan di tiap 10 dzulhijjah ini, bukan sekedar
menyembelih & membagi-bagikan daging sembelihannya saja. Om Hafidz (ketua
kubu Ahlu sunnah wal gagabah), beliau memaknai kurban, sebagai ajang menyembelih
keegoisan diri. Kami pribadi, belum punya pemaknaan yang mendalam. Masih
mengimani ritus ini, juga termasuk bagian dari syi’ar Allah. Sebagaimana
yang dijelaskan oleh ar-Raghib dalam Mu’jam mufradat Al-fazh al-Quran,
bahwa syi’ar itu adalah mu’alimuhuz-zhahirah lil-hawas; petunjuk-petunjuk
yang jelas untuk dicerap oleh indra. Jika dinisbahkan kepada Allah, maka syi’ar
Allah, adalah petunjuk-petunjuk yang jelas, akan eksistensiNya juga
keagunganNya.
![]() |
Gambar oleh: Google |
Dalam
menjalankan segala ritus korban (ibadah) kita, sangatlah penting didasari
dengan niat hanya karenaNya, dan dengan mencurahkan segenap keseriusan. Sebagaimana
yang telah Nabi contohkan, dalam ritus qurban, beliau tidak asal dalam memilih
hewan kurban. Beliau memilih hewan yang gemuk, besar dan terbaik/tidak cacat
(Shahih al – Bukhary: kitab al-adlahi). Jika dalam pandangan mainstream,
bahwa pekurban haruslah dari para aghniyaa/ kaya saja. Maka rasanya ini
kurang tepat, namun ada benarnya juga. Di Islam, ibadah qurban adalah ibadah
yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Yang kaya berkurban, sudah sewajarnya.
Yang tidak kaya berkurban, adalah luar biasa. Mengingat, dalam urusan
berbagi/berderma, tak ada batasan keadaan. Baik dalam keadaan sarraa/senang,
maupun pada keadaan dzarraa/susah. Keduanya adalah ciri bagi muttaqiin
(QS. 3: 134).
Qurban
dari orang Yang bertaqwa
Pada
beberapa tempat dalam al- Quran, kata qurban/hal-ihwalnya akan selalu diiringi
oleh kata taqwa. Misal, pada ayat yang menerangkan kisah tentang qurbannya dua
anak Adam (QS. Al-Maidah: 27), pada akhir ayat Tuhan menegaskan, “inna maa
yataqabbaluhaa minal muttaqiin”; sesungguhnya Allah, hanya menerima
(korban) dari orang-orang yang bertaqwa. Secara implisit, juga diterangkan pada
QS. Al – Hajj: 32, “waman yyu’adzim sya’aairallahi fa innahaa min taqwa
al-quluubi”; barang siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah (termasuk
qurnban), maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.
Lalu,
apakah takwa itu? Ada banyak definisi
tentang takwa. Ar- Raghib Al -Ashfahaniy mendefinisikan taqwa, hifdzu
annafsi ‘amma yu’tsam; menjaga diri dari apa-apa yang dapat menjerumuskan
pada dosa (Ar-raghib al-Ashfahaniy, Mu’jam Mufradzat fi al-Faadzil Qur-an, h.530).
Sahabat Umar ibnu Al-khattab R.A, mendefinisikan taqwa, dengan menganalogikan seperti
apa yang dilakukan orang, bila berjalan pada jalanan yang dipenuhi duri.
Kemudian, Fazlur Rahman, menerangkan
bahwa kata takwa, berasal dari akar kata waqy, yang berarti
“berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu”. Ia sepakat, bila takwa didefinisikan
“takut kepada Allah” dengan maksud takut akan akibat-akibat perbuatan sendiri
(berupa keburukan & kejahatan), baik di dunia maupun akhirat nanti (Rahman,
Tema Pokok Al – Quran, h. 43). Mungkin, bila dalam bahasa ibu kita
(Sunda), takwa adalah caringcing pageuh kancing, saringset pageuh iket.
Dari
semua definisi perihal taqwa itu, ada pesan yang dapat ditarik, “berhati-hatilah,
jangan sampai melewati batas”. Ketaqwaan pada diri Ibrahim & Ismail,
bukanlah karena mereka dipilih sebagai nabi saja. Tapi, juga karena telah menjadi individu yang terlatih, dalam menjaga
batas-batas yang telah ditetapkan Tuhan. Sehingga, melahirkan kekokohan
& keseimbangan dalam berhati-hati dan menjaga batasan-batasan dari Tuhan. Begitulah
kuranglebihnya, gambaran individu yang bertaqwa. Bilamanapun ia terlampau
melanggar batasan-batasan tersebut, ketaqwaan pada diri individu itu, akan
segera membuatnya bertaubat, mengembalikan keseimbangan pada dirinya. Pantas
saja, bila mana Tuhan hanya menerima setiap amalan hambanya, adalah berupa
amalan yang ahsan/baik/berkualitas, bukan yang aktsar/banyak/kuantitsnya
semata.
Allah
‘Azza wa Jalla berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى
مِنْكُمْ …(٣٧)
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat
mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya…(QS. Al- Hajj: 37).
Mungkin, bagi
kami pribadi yang bertaqwa itu adalah entitas dari keseimbangan diri seorang
muslim yang mu’min. Janganlah sekali-kali pangurban beranggapan, bahwa hewan
kurbannya itu yang akan menyampaikan dirinya (amalannya) kepada Tuhan.
Seringkali ada sebagian orang yang berbangga diri karena kambing sehatnya atau
gemuk sapinya. Berkurban karena ingin pujian & sanjungan, dan ingin disebut
dermawan. Yang ditakutkan, amalan-amalannya hanya akan seperti menjadi debu
yang tertiup angin. Seringkali lupa, kalau pemenuhan syarat yang utama itu
adalah li rabbika (Karen semata-mata Tuhan mu).
Dalam
pribadi hamba yang taqwa, terdapat amalan yang berkualitas. Qurbannya Habil,
yang diterima. Qurban Ibrahim & Ismail, yang penuh mau’idzoh, juga
diterima. Dan qurban kita semua, yang didasari niat karenaNya, diaplikasikan
dengan sesuai kepada apa yang dicontohkan oleh Nabi (mentaati batasan-batasan),
ditambah lagi dengan niatan berderma (baik dikala sarra & dzarra), menjadi
kurban yang yataqabbaluha minal muttaqiin. Semoga. Wallohu a’lam***
*Penulis
adalah Kurawa LPIK, mahasiswa paruh waktu di Jurusan KPI semester III, UIN SGD
Bandung
0 komentar:
Posting Komentar