Minggu, 04 Januari 2015

“Qurban & Ketaqwaan”




Oleh: FAG*

Matahari berpamitan kepadanya. Pada pria tua yang berpakaian lusuh itu. Pria yang tak bisa berontak pada waktu. Keriput dan kilauan putih rambutnya, menjadi isyarat, akan begitu banyak hal yang telah ia lewati. Pernah dibakar hidup-hidup, sang istri yang diambil oleh raja lalim, dan penungguan panjangnnya akan kehadiran sang penerus. Kisah-kisah yang kelak akan abadi, jadi ibrah & mau’idzoh, bagi generasi-generasi setelahnya. Ia tampak gundah, bimbang, dan gelisah. Karna satu mimpi yang terjadi semalam. Kemudian ia ceritakan mimpi ti kepada sang istri, dalam keadaan haru, keduanya terdiam dalam keheningan yang bergemuruh.
“Nak, sebentar, ayahmu ingin bicara”, ucapnya lembut, sembari mengusap kepala sang anak, penuh kasih.
“Silahkan Ayah, ada apa gerangan?”, jawab sang anak dengan ekspresi penasaran.
“Nak, semalam ayah bermimpi tentang mu…”. Suaranya sedikit tertahan.
“Apa yang engkau impikan tentangku, wahai ayah…?, apa aku menjadi sesuatu yang mengagumkan di mimpimu?!” tanyanya penuh semangat.
Ia hanya membalas dengan senyuman. Kemudian meneruskan ceritanya.
            “Nak, sesungguhnya dalam mimpi ayah semalam, ayah menyembelih mu…” ada yang tak tertahan, yang memaksa keluar, menetes dari matanya.
Ia kembali teringat akan penantian panjangnya. Kini, tetika ia telah diakaruniai seorang anak, ketika sang anak telah beranjak dewasa, ia malah harus menyembelihnya.
            “Bagaimana pendapatmu, mengenai mimpi itu…? Pikirkan saja dahulu” ia kembali mengusap kepala sang anak.
            “Wahai ayah..., bilamana ini adalah perintah Allah, lewat mimpu mu, maka Ayah, silahkan lakukan. Isya Allah engkau akan dapati aku termasuk kepada golongan yang shabar…” jawabnya penuh keyakinan.
Maka bergegaslah keduanya untuk segera melaksanakan perintah dari Sang Maha itu, lalu ketika pisau hampir menyentuh leher si anak, Ia Yang Maha pengasih, menurunkan titah. Agar, si anak ditukar dengan sembelihan yang baik (dzibhin ‘adziim).***
Begitulah kurang lebihnya gambaran yang diambil penulis dari al – quran, surah As-Shaaffaat (37), ayat 98 – 11. Kisah abadi yang sampai kepada kita, juga yang kelak akan sampai hingga akhir zaman. Bagaimana keshabaran kedua insan pilihan Tuhan ini, betapapun, sungguh kentara. Inilah millah Ibrahim yang hanif. Yang kemudian, spirit & prakteknya disempurnakan dalam ajaran yang dibawa Muhammad SAW. Dalam ritus Qurban/nahr/nusuk .
Kata qurban berasal dari kata qaruba – qarib, qaruba – qarib, yang berarti dekat, mendekati. Aqrab lebih dejat, Aqrabun (kerabat dekat). Bila huruf ro-nya ditasydid, jadi qorraba – qurbaanan artinya mendekatkan, menghidangkan, mempersembahkan. Sedangkan dalam artian luasnya, adalah mendekatkan diri kepada Allah, mengharapkan ridlaNya, dan mengorbankan segala yang kita miliki. Ibadah kita adalah kurban. Shalat adalah kurban kita meluangkan waktu & perhatian, khusus ditujukan hanya kepadaNya. Begitupun kuliah (tholab ‘ilmu) dan berbagi rokok. Bila didasari dengan niat tulus dan ikhlas, janganlah khawatir. Ia Yang Maha, akan membalasnya.  
Pada ritus Qurban, yang disyari’atkan di tiap 10 dzulhijjah ini, bukan sekedar menyembelih & membagi-bagikan daging sembelihannya saja. Om Hafidz (ketua kubu Ahlu sunnah wal gagabah), beliau memaknai kurban, sebagai ajang menyembelih keegoisan diri. Kami pribadi, belum punya pemaknaan yang mendalam. Masih mengimani ritus ini, juga termasuk bagian dari syi’ar Allah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh ar-Raghib dalam Mu’jam mufradat Al-fazh al-Quran, bahwa syi’ar itu adalah mu’alimuhuz-zhahirah lil-hawas; petunjuk-petunjuk yang jelas untuk dicerap oleh indra. Jika dinisbahkan kepada Allah, maka syi’ar Allah, adalah petunjuk-petunjuk yang jelas, akan eksistensiNya juga keagunganNya.  
Gambar oleh: Google
Dalam menjalankan segala ritus korban (ibadah) kita, sangatlah penting didasari dengan niat hanya karenaNya, dan dengan mencurahkan segenap keseriusan. Sebagaimana yang telah Nabi contohkan, dalam ritus qurban, beliau tidak asal dalam memilih hewan kurban. Beliau memilih hewan yang gemuk, besar dan terbaik/tidak cacat (Shahih al – Bukhary: kitab al-adlahi). Jika dalam pandangan mainstream, bahwa pekurban haruslah dari para aghniyaa/ kaya saja. Maka rasanya ini kurang tepat, namun ada benarnya juga. Di Islam, ibadah qurban adalah ibadah yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Yang kaya berkurban, sudah sewajarnya. Yang tidak kaya berkurban, adalah luar biasa. Mengingat, dalam urusan berbagi/berderma, tak ada batasan keadaan. Baik dalam keadaan sarraa/senang, maupun pada keadaan dzarraa/susah. Keduanya adalah ciri bagi muttaqiin (QS. 3: 134).
Qurban dari orang Yang bertaqwa
Pada beberapa tempat dalam al- Quran, kata qurban/hal-ihwalnya akan selalu diiringi oleh kata taqwa. Misal, pada ayat yang menerangkan kisah tentang qurbannya dua anak Adam (QS. Al-Maidah: 27), pada akhir ayat Tuhan menegaskan, “inna maa yataqabbaluhaa minal muttaqiin”; sesungguhnya Allah, hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa. Secara implisit, juga diterangkan pada QS. Al – Hajj: 32, “waman yyu’adzim sya’aairallahi fa innahaa min taqwa al-quluubi”; barang siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah (termasuk qurnban), maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.
Lalu, apakah takwa itu?  Ada banyak definisi tentang takwa. Ar- Raghib Al -Ashfahaniy mendefinisikan taqwa, hifdzu annafsi ‘amma yu’tsam; menjaga diri dari apa-apa yang dapat menjerumuskan pada dosa (Ar-raghib al-Ashfahaniy, Mu’jam Mufradzat fi al-Faadzil Qur-an, h.530). Sahabat Umar ibnu Al-khattab R.A, mendefinisikan taqwa, dengan menganalogikan seperti apa yang dilakukan orang, bila berjalan pada jalanan yang dipenuhi duri. Kemudian, Fazlur Rahman,  menerangkan bahwa kata takwa, berasal dari akar kata waqy, yang berarti “berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu”. Ia sepakat, bila takwa didefinisikan “takut kepada Allah” dengan maksud takut akan akibat-akibat perbuatan sendiri (berupa keburukan & kejahatan), baik di dunia maupun akhirat nanti (Rahman, Tema Pokok Al – Quran, h. 43). Mungkin, bila dalam bahasa ibu kita (Sunda), takwa adalah caringcing pageuh kancing, saringset pageuh iket.
Dari semua definisi perihal taqwa itu, ada pesan yang dapat ditarik, “berhati-hatilah, jangan sampai melewati batas”. Ketaqwaan pada diri Ibrahim & Ismail, bukanlah karena mereka dipilih sebagai nabi saja. Tapi, juga karena telah menjadi  individu yang terlatih, dalam menjaga batas-batas yang telah ditetapkan Tuhan. Sehingga, melahirkan kekokohan & keseimbangan dalam berhati-hati dan menjaga batasan-batasan dari Tuhan. Begitulah kuranglebihnya, gambaran individu yang bertaqwa. Bilamanapun ia terlampau melanggar batasan-batasan tersebut, ketaqwaan pada diri individu itu, akan segera membuatnya bertaubat, mengembalikan keseimbangan pada dirinya. Pantas saja, bila mana Tuhan hanya menerima setiap amalan hambanya, adalah berupa amalan yang ahsan/baik/berkualitas, bukan yang aktsar/banyak/kuantitsnya semata.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ (٣٧)
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya…(QS. Al- Hajj: 37).
Mungkin, bagi kami pribadi yang bertaqwa itu adalah entitas dari keseimbangan diri seorang muslim yang mu’min. Janganlah sekali-kali pangurban beranggapan, bahwa hewan kurbannya itu yang akan menyampaikan dirinya (amalannya) kepada Tuhan. Seringkali ada sebagian orang yang berbangga diri karena kambing sehatnya atau gemuk sapinya. Berkurban karena ingin pujian & sanjungan, dan ingin disebut dermawan. Yang ditakutkan, amalan-amalannya hanya akan seperti menjadi debu yang tertiup angin. Seringkali lupa, kalau pemenuhan syarat yang utama itu adalah li rabbika (Karen semata-mata Tuhan mu).
Dalam pribadi hamba yang taqwa, terdapat amalan yang berkualitas. Qurbannya Habil, yang diterima. Qurban Ibrahim & Ismail, yang penuh mau’idzoh, juga diterima. Dan qurban kita semua, yang didasari niat karenaNya, diaplikasikan dengan sesuai kepada apa yang dicontohkan oleh Nabi (mentaati batasan-batasan), ditambah lagi dengan niatan berderma (baik dikala sarra & dzarra),    menjadi kurban yang yataqabbaluha minal muttaqiin. Semoga. Wallohu a’lam***

*Penulis adalah Kurawa LPIK, mahasiswa paruh waktu di Jurusan KPI semester III, UIN SGD Bandung

0 komentar:

Posting Komentar