Oleh: Fikri A
Gholassahma[2]
Prolog.
Yang menarik dalam perjalanan
penyebaran agama Islam, di Indonesia pada umumnya, dan di tatar Sunda lebih
hususnya. banyak teori yang meyebutkan akan keberagaman cara masuk dan menyebarnya
agama ini. Ada yang berkata bahwa agama Islam datang ke tatar Sunda melalui
perniagaan atau perdagangan. Juga yang menyebutkan bahwa Islam masuk ke tatar
Sunda secara sengaja dilakukan oleh para wali. Kedua teori tersebut, memiliki
argumen dan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Terlihat dari beragamnya
karakteristik keberagamaan yang ada di tatar Sunda – baik dipesisir maupun di
pedalaman – pasti ada saja perbedaannya.
Di mana terjadinya pertemuan antara ajaran islam dan local geniun masayarakat
sunda itu sendiri.
Dalam asumsi dasar, bahwa pemikiran
teologis Islam sebenarnya juga erat kaitannya dengan dimensi kultural dan
praksis – sosial keagamaan. Karena seperti yang dipahami umumnya selama
ini (pemikiran keislaman klasik, khususnya dalam wilayah kalam, tasawwuf dan
filsafat), biasanya dibatasi hanya pada bidang kajian yang bersifat teoritis
konseptual saja. Dan kurang manifestasinya dalam kehidupan sosial, lewat
pendekatan sosial – budaya.[3]
Oleh karenanya, penulis mencoba membahas pemikiran teologi Islam dengan dimensi
kultural, melalui sdikit pembahasan dari biografi Tokoh Kalam klasik di
tatar Sunda, yakni Haji Masan Mustapa.
Seulas Biografi
Haji Hasan Mustapa (HHM[4]).
Hingga kini tentang sosok Haji Hasan
Mustapa, sedikit sekali yang penulis ketahui. Sejauh ini, bahan bacaan yang
paling lengkap mengenai sosok dan karya HHM, ialah pada buku “Hasan Mustapa
jeung karya – karyana” Susunan Ajip Rosidi (1989). Dari yang hingga saat in
penulis pernah temukan dari literatur – literatur yang ada, HHM dapat diaktakan
dikenal dengan sosok pujangga, penghulu Islam zaman kolonial, tokoh tasawwuf,
penulis risalah keagamaan, dan pemerhati adat istiadat Sunda.
HHM
berasal dari Cikajang, Garut, Jawa Barat. Sejak kecil belajar di lingkungan
pesantren, baik yang ada di tatar Sunda, maupun tanah Jawa dan Madura. HHM juga
pernah belajar di Arab Saudi. Ketika berumur sembilan tahun, ia diajak oleh
ayahnya untuh ibadah haji. Setelah dewasa, selama lebih kurang sepuluh tahun
HHM bermukim dan mengajar di Arab Saudi, sebelum ia kembalai lagi ke Hindia
belanda dan bekerja sebagai Hoofd Penghoeloe Bandung. HHM pernah berkeliling
Jawa, kemudisn bekerja di Aceh untuk membantu Snouck Hurgrounje. Di Jawa Barat
juga HHM dikenal dengan “bagawan sirna di rasa” dan namanya diabadikan
sebagai nama salah satu jalan di Bandung: “PHH Mustapa”. Di Jawa Barat juga pernah
ada satu komunitas fans HHM, yaitu Galih pakuan.
Pada
Tahun 1977, Presiden Indonesia Memberikan Anugrah seni kepada HHM sebagai
“sastrawan daerah Sunda”. Pada tanggal 30 juni 1994, organisasi Daya Mahasiwa
Sunda (DAMAS) mengadakan pagelaran di hotel Savoy Homann, Bnadung. Yang bertema
“Nembangkeun Karya Akbar Haji Hasan Mustapa” berupa pertunjukan tembang
sunda, yang lirik – liriknya berasal dari dangding – dangding HHM.[5]
HHM
sangat produktif menulis, terutama dalam bahasa Sunda. Pemikiran keagamaan Hasan Mustapa, pada
umunya ditulis dalam bentuk “dangding”, pusisi tradisional berbahasa
Sunda. Penyair yang dalam tempo dua atau tiga tahun mampu menghasilkan dangding
lebih dari 10.000 bait[6] disamping beberapa pemikirannya ditulis dalam
bentuk esai yang ditulis dalam bahasa Sunda, Jawa dan Arab, dengan tulisan
Latin, Arab Pegon, dan Tulisan Sunda (Hanacaraka), pada umunya merupakan
pemikiran sufistik. Namun demikian dalam tulisannya yang sufistik tesebut di
dalamnya terdapat unsur-unsur pemikiran Kalam, kritik terhadap adat dan sistem
nilai budaya ada hidup dan berkembang dalam Masyarakat, khususnya masyarakat
Sunda.[7]
Hasan Mustapa:
'Ulama dan Sastrawan yang Mahiwal [8]
(?).
Tidak
dapat dipungkiri, bahwa HHM lebih dikenal sebagai seorang sastrawan, daripada
sebagai seorang Ulama. Dikarenakan ia
lebih banayak menuangkan pemikiran -
pemikirannya kedalam bentuk “dangding[9]”.
Inilah yang menjadi anggapan, mengapa ia disebut Ulama yang mahiwal (-pen).
Akan tetapi karena beliau sedari kecil berada di lingkungan pesantren,
menetap & mengajar di Arab, juga sebagai penghulu di Bandung & di Aceh,
tentulah ia seorang ulama yang memiliki pandangan keberagamaan yang khas. Ada
juga sebagian yang menganggap bahwa HHM adalah ahli kebatinan, disangka
penganut wahdatul wujud, dan merusak Islam, dsb. Padahal “siapa yang pernah membandingkan HHM
dengan kaum sufi yang lain, seperti Al – hallaj, Ibnu Arabi, Rummi, dll bagai
mana hasilnya?” itulah bantahan yang pak Ajip lontarkan pada orang – orang yang
memendang HHM sebelah mata.[10] Selain
dangding, HHM melulis anekdot dan esei juga.
Anak
HHM, yang bernama Toha Firdos, adalah
seorang pemusik kroncong, dan pimpinan dari grup music kroncong sangkuriang.
Toha wafat karena kecelakaan lalu –lintas di jalan Nagreg, Jawa Barat. Konon pada hari ketika toha
hendak dikebumikan, HHM mengundang grup keroncong sangkuriang, untuk mengiringi
keranda anaknya, ke kuburan[11]
Kemudian
yang menjadikan HHM sebagai sastrawan yang mahiwal (pen), ialah ketika
memperhatikan pada pemilihan diksi untuk
dangdingnya. Beliau menggunakan basa
nu geus dihampelas ‘bahasa yang diperhalus’. Dalam hal ini, menurut Kang Hawé
Setiawan: “sedikitnya ada dua gejala yang dapat diamati dari dangdingnya HHM. Pertama,
terdapat sejumlah kata sunda yang familiar, setidaknya puntuk penutur
bahasa Sunda dewasa ini, tetapi menunjukkan kreativitas penyair menciptakan
semacam idiom baru. Kedua, terdapat sejumlah kata yang diserap dari
bahasa Arab, dan pada kasus – kasus tertentu kata – kata serapan tersebut
dibentuk melalui pola pembentukan kata bahasa sunda. Contohnya, seperti pada imbuhan
-um-. Pada dasarnya bentuk kata -um- merupakan sisipan (seperti gumilang
dari kata dasar gilang). Tapi HHM menggunakan imbuhan –um- ini,
menyerupai awalan. Seperti pada kata umangkeuh,
yang berkata dasar angkeuh. Umaing dari kata dasar aing, dimasukan
awalan (+) um, menjadi umaing, dll. Juga beliau sering juga menggunakan
akhiran –ing, dalam dangding – dangdingnya kita akan menemukan seperti: sirnaning,
jatnikaning, alaming,barangtaning, birahining, dll.
Untuk
contoh yang ke dua - penggunaan kata serapan dari bahasa Arab, tetapi pada
kasus – kasus tertentu kata serapan tersebut dibentuk dalam pola pembentukan
kata bashasa Sunda- sebagai contoh, dalam dangdingnya: “nu qiyamuhuna binafsihi”,
dll. Dari pemaparan yang sangat
sekilas itulah, yang penulis buat sebuah kesimpulan, mengapa HHM suka disebut mahiwal.
Kalam dan Corak
Pemikiran Haji Hasan Mustapa.
Sebenarnya
tidak ada tulisan Hasan Mustapa yang secara khusus merupakan pemikirannya
tentang Kalam. Pemikiran Kalamnya tertuang dalam sejumlah tulisan yang
terungkap secara implisit. Diantara persoalan Kalam yang banyak diungkap Hasan Mustapa,
antara lain berkernaan dengan Sifat Tuhan dan Nama Tuhan, Kekuasaan Tuhan dalam
hubungannya dengan prilaku manusia di dunia. Untuk menjelaskan kecenderungan
manusia tersebut Hasan Mustapa merumuskan tujuh tahapan keislaman (Gelaran
Sasaka si Kaislaman), yang terdiri dari tahapan Islam, Iman, Soleh, Ihsan,
Sahadah, Sidikiyah, Kurbah dan Mahabah.
Menurut
Ahmad Gibson Al – Busthomie[12], Terdapat
beberapa asumsi dasar yang dapat ditemukan dalam pemikiran keagamaan Hasan
Mustapa. Antaranya:
1.
Bahwa Tuhan atau esensi tidak akan
berubah karena berubah nama atau penampilan. Seperti diungkap dalam sebagian
dandingnya:
“Numatak
timbang taraju, jati teu leungit kulali, paya kudiaya-aya, lalandian nu
pinanggih, dutriat kakalakayan, ingkar ngarangrangan jati”
2.
Bahwa
keberadaan seseorang dalam masyarakatnya senantiasa berada dan terjebakan oleh
sejumlah lalandian (istilah, pembahasaan). Lalandian ini telah
melahirkan sejumlah persoalan dalam beragama. Lalandian telah membuat
manusia tersesat dan kehilangan orientasi. Hal ini diungkap Hasan Mustapa dalam
dangding-nya:
“Bukurna nu dipibingung, pahili kubarang hiji, nyawa kaleungitan rasa, Lawas kalindih panglandi, marukan lain manehnaenya ge dilain-lain”
“Bukurna nu dipibingung, pahili kubarang hiji, nyawa kaleungitan rasa, Lawas kalindih panglandi, marukan lain manehnaenya ge dilain-lain”
(Bukti yang
dipersoalkan, karena samar dengan dzat yang sama, ruh kehilangan kepekaan, telah
lama tertutupi oleh nama, dikira bukan itu yang dicari, yang benar didianggap
salah).
3.
Hasan Mustapa melihat bahwa
kehidupan manusia dalam segala hal, khususnya dalam pemahaman, pengalaman dan
pengamalan keagamaan, bersifat bertahap perkembangannya. Hal ini mengingat bahwa ketika manusia lahir ke dunia ia
terjebak dalam seting sosial-budaya yang telah ada dan melembaga. Seseorang
beragama, pada awalnya, lebih merupakan tuntutan etik dan moralitas sosial.
Akhirul
kalam & Epilog.
Sampailah
pada tahap akhir[13].
Ialah untuk merenungkan, memahami kandungan makna yang ingin HHM sampaikan
dalam dangding – dangdingnya. Sosok
HHM adalah seorang sosok muslim, Orang
Sunda & Manusia Sunda yang fenomenal.
Yang melakukan syiar keagamaan lewat karya – karyanya. Ada baiknya bila semangat dan kreatifitasnya dijadikan
acuan bagi generasi di masa kini, bahwa walaupun jaman telah berganti, jangan
melupakan jati diri. Jati diri sejati, sebagai orang Sunda, yang marus menjadi
Manusia Sunda. Semoga bermanfaat.***
“Iraha timbulna
suung, Lamun taya musim ngijih, Iraha gumelar supa, Lamun taya catang kai,
Iraha nelah kaula, Lamun taya bibit gusti”.
(Haji Hasan
Mustapa)
[1] Tulisa ini dipidangkeun
dalam kegiatan diskusi reguler LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman) UIN
SGD Bandung. Senin, 17 / 02 / 2014.
[2] Penulis adalah
salahsatu kurawa muda LPIK, juga termasuk sepecies tak penting ciptaan Sanghyang Tunggal, yang sedang
belajar menulis dan berdiskusi.
[3] Abdullah, M.
Amin, “Islamic Studies di Perguruaan Tinggi – Pendekatan Integratif-
Interkonektif - Yogyakarta: Pustaka
Pelajar: 2012.
[4] HHM, adalah
singkatan yang biasa dipergunakan oleh Pak Ajip Rosidi dalam buku – bukunya,
seperti “Ngalanglang kasusastraan Sunda & Hasan Mustapa jeung karya –
karyana”.
[5] Setiawan,
Hawé. Makalah untuk seri kuliah umum: “Islam dan Mistisisme Nusantara: Dangding
Mistis Haji Hasan Mustapa”, di Teater Salihara , 04 Agustus 2012.
[6] Rosidi, Ajip.
“Hasan Mustapa Jeung Karya – Karyana” Bandung, Pustaka: 1989.
[7] Al
– Busthomie, Ahmad Gibson, “Corak Pemikiran dan Metode Kalam Haji Hasan
Mustapa (HHM).
[8] Mahiwal : Tidak
biasa, berbeda dengan yang lain. Minculak, teu ilahar, teu parok jeung batur
. Kamus Basa Sunda, R.A. Danadibrata. Bandung, PT. Kibalat Buku Utama.
2009.
[9] Dangding
adalah, salah satu bentuk puisi sunda (karangan ugeran) dalam bentuk
pupuh (dinyanyikan). Dr. Iskandarwassid, M.Pd. “Kamus Istilah Sastra
– pangdeudeuil Pangajaran Sastra Sunda). Bandung: Cv. Geger Sunten: 2003
[10]
Rosidi, Ajip “Ngalanglang
Kasusastraan Sunda” Jakarta Pusat:
Penerbit Pustaka Jaya: 1983.
[12]
Al – Busthomie, Ahmad Gibson, “Corak Pemikiran dan Metode Kalam Haji Hasan
Mustapa (HHM) - dalam Hauzah LPIK.
[13] Mengingat, apa yang penulis coba sajikan kepada para kurawa LPIK -- yang lapar akan kuliner intelektual dan haus akan air keilmuan -- pastilah yang didapati di tulisan ini, hanyalah cemilan penunda lapar belaka. Mungkin itu terlalu jauh, barang kali tulisan ini hanya makanan tawar,tak enak dan tak kaya akan rasa. Yang tak akan menjadi nutrisi khazanah keilmuan yang diserap oleh tubuh. Tak akan sama sekali memberi kejelasan dan kepuasan makna ‘kenyang akan ilmu’ yang hakiki. Apalah mau dikata, moga kurawa sekalian memakluminya.
[13] Mengingat, apa yang penulis coba sajikan kepada para kurawa LPIK -- yang lapar akan kuliner intelektual dan haus akan air keilmuan -- pastilah yang didapati di tulisan ini, hanyalah cemilan penunda lapar belaka. Mungkin itu terlalu jauh, barang kali tulisan ini hanya makanan tawar,tak enak dan tak kaya akan rasa. Yang tak akan menjadi nutrisi khazanah keilmuan yang diserap oleh tubuh. Tak akan sama sekali memberi kejelasan dan kepuasan makna ‘kenyang akan ilmu’ yang hakiki. Apalah mau dikata, moga kurawa sekalian memakluminya.
0 komentar:
Posting Komentar