“Sebuah Prologue”
Setengah tahun sudah, Ia bergabung
dengan dunia baru. Semuanya serba baru. Kecuali hanya baju, celana dan
keadaan dompet nya, yang masih tetap. Tak sedikit pun berubah. Apa yang
terasa baru, begitu ia nimati dan hayati untuk semua kesempatan,
pengalaman dan kenangan yang ia anggap sangat indah. Dan pastinya
takterlupakan.
Ini semua dimulai ketika sang tokoh
antagonis, gagal untuk meraih harapannya di jalan menuju sastra. Cukup
dalam dan sakit ia terperosok ke jurang kegagalan itu. Dengan susah
payah ia berusaha berdiri, mencoba merangkak perlahan untuk dapat keluar
dari lubang yang gelap. Mencoba mengumpulkan kembali serpihan harapan
yang pecah berkeping – keping, berserakan di lantai hati yang basah.
Walau agak sedikit sulit, akhirnya ia dapat menyusunnya kembali. Dengan
bantuan super – glué yang dipinjamnya dari seorang teman.
Ia tersadar oleh omongan seorang supir truk ketika hujan sore hari,
“banyak jalan menuju sastra” ujar nya. Entah apa maqashid dari
ucapan si supir truk tersebut, tapi kelihatannya ia memahami dengan
pemahamannya sendiri. Ia bertekad, akan mencari ‘jalan-jalan alternatif
lain’ untuk sampai ke tujuannya. Ya, sastra.
Masuklah ia ke sebuah dunia baru. Dunia
di mana pergolakan perbedaan pemahaman dan pemikiran adalah sarapan
sehari – hari. Bak sebuah miniatur dari masyarakat secara luas. Dunia
baru itu merupakan sebuah negara kecil menurutnya, yang di dalamnya
tidak ada pertengkaran dan gontok-gontokan seperti yang sering terjadi
di luar. Kalaupun itu terjadi, mungkin hanya sebatas pada kadar yang
ringan dan nantinya pun akan mencair kembali. Para pengisi dunia baru
itu merupakan kumpulan individu yang beragam dan menarik. Perbedaan di
dalamnya menjadikannya sebuah keluarga yang selalu dijadikan tempat
bernaung, bak rumah yang melindungi diri dari dan panasnya sinar mentari
di siang hari. Di sisi lain dunia itu juga adalah dunia yang sangat
keras. Telah banyak saksi sejarah kebesaran dan kehebatan para pengisi
dunia itu di masa lalu. Telah banyak torehan tinta emas yang mereka
guratkan di langit sastra dan tanah intelektual. Itu pun telah berlalu…
Bagaimanapun juga dunia itu hanyalah benda mati. Ia akan hidup, dari kedinamisan dan karancagéan pengisinya.
Ia akan mati pula, bila pengisinya hanya berpangku tangan, hanya
membangga – banggakan kejayaan di masa silam, tanpa ada semangat dan
usaha untuk meraihnya. Dan bila boleh ia akan mengutip, apa yang pernah
dikatakan Friedrich Schiller (1759-1805) dalam “Wilhelm Tell” (1804) ”Yang lama musnah, masapun berubah, dan diatas puing keruntuhan, mekarlah Kehidupan Baru”. “Ini lah zaman kita, sekarang adalah giliran kita” ujarnya.
Ia bersyukur bisa bergabung di dunia
itu. Bagaimana pun, ini hanya sebuah prologue. Berhasil atau tidaknya ia
sampai menuju sastra, siapa yang tahu? Tergantung dari usahanya dan
perjuangannya. Kalau telah berusaha walaupun pada akhirnya gagal juga, persetan dengan semuanya, mangsa bodo, da nu penting mah ngaing geus usaha. Hari
esok bagaikan sebuah epilogue yang berkekeuatan mistis nan gaib adanya.
Tapi masih mungkin untuk dirancang dan disiasati, kiranya …itu pun,
bila yang Maha Kuasa berpihak pada nya.
***Inspirasi kamar mandi, saat orang – orang tak peduli lagi. Bandung, 18 Januari 2014, 20 : 04.***
*Penulis adalah Kurawa LPIK yang bergiat sebagai pecinta Sastra Sunda.
0 komentar:
Posting Komentar