Pagi itu, semua masih
tertidur pulas. Efek dari semalaman berpesta. Sangat meriah,
sampai-sampai berlangsung selama seminggu. Hidangan yang menggunung,
wine yang tak hentinya mengalir, mengisi tiap-tiap gelas. Dari seloki,
hingga gelas bir besar (seperti pada film-film koboi atau bajak laut)
tak ada yang kering, semua basah. Udara dalam ruangan, didominasi oleh Clive Crhistian’s Imperial Majesty, Caron’s Poivre, Jean Patou’s Joy, juga merek-merek parfum lainnya.
Kilau
dan kelap-kelip lampu, menjadi pelengkap meriahnya pesta itu. Para
pegusaha, miliarder, koruptor, teroris, artis, pejabat, gigolo &
pelacur, dari seluruh dunia. Semua berkumpul, larut dalam suasana pesta.
Kau bisa lihat, sekumpulan orang yang sedang tertawa bengis di tengah
geladak? Di meja bundar besar dilapisi kain putih, padanya surga gourmet
yang mustahil bisa dicicipi oleh orang miskin, seumur hidupnya.
Masing-masing mereka duduk didampingi oleh wanita-wanita cantik &
sexy. Sembari tak henti menghisap Gurkha Black Dragon, Cohiba Behike, dan Arturo Fuente Opus X, cerutu-cerutu kualitas number wahid sedunia. Kurang
lebihnya seperti itu, ritus-ritus rutin bagi para lelaki bertuxedo
& wanita bergaun sutra. Dunia seolah-olah berada pada genggamannya.
***
Ada
yang berbeda, di pagi saat pesta berakhir. Ombak begitu tenang, angin
hampir tak ada, suara ricuh burung camar, rutinitas yang biasa terjadi
di lautan, pagi itu, tak ada. Seluruh staff kapal pesiar itu, sedang
bersantai meni’mati sarapan pagi. Semua terlena akan keadaan tersebut.
Tidak terbersit dalam fikiran mereka, akan datangnya kejutan dari Tuhan.
Bencana yang akan datang, yang menerjang dengan tiba-tiba. Ini sasaran
empuk, bagi Tuhan. Untuk member balasan, kepada makhluq yang ia cipta,
namun membangkang. Itulah mayoritas pengisi setiap stateroom persiar ini.
Sang
Kapten, bernama Andy. Empat tahun ini, ia menakhodai sebuah kapal
Pesiar pribadi, empunya milyarder AS. Di umurnya yang baru 30 tahun,
mungkin ini adalah puncak dari karirnya. Dari semenjak usia 9 taun, ia
telah terbiasa diombang-ambing ombak lautan. Setelah melalui berbagai
cobaan dalam meniti karirnya, yang bermula hanya menjadi utility,
bergelut dengan piring-gelas kotor, telunjuk & pekikan
perintah.Masa-masa yang sulit. Karena keuletan & kerja kerasnya,
karirnya sedikit demi sedikit mendekati kesuksesan. Dari hanya sekedar utility, ia naik menjadi second cook, pada
tahun yang sama. Pada tahun ini pula, ia mengalami kengerian di kabin
kapal. Harus menjadi pelampiasan nafsu seniornya. Yang entah berapa
belas tahun tak bertemu wanita. Tahun-tahun berikutnya, adalah jalan
menanjak yang terjal. Hampir mati jadi bulan-bulanan senior, setengah
tuli karena tamparan pejabat, dan percobaan mengakhiri hidup, karena
sudah tak kuat siksaan di atas kapal.
Ia orang yang taat dalam
beragama. Pada pagi dan petang, ia tak lupa mealafalkan nama Tuhan
beserta nama-nama-Nya Yang Maha Baik. Karena didikan orangtuanya,
bimbingan sedari dini, menjadikan ia sebagai manusia taat beragama.
Orangtuanya ditembak mati di hadapannya keatika ia berumur 8 tahun.
Karena dituduh sebagai penyebar paham agama yang fundamentalis &
radikal. Yang sangat dibenci okeh pemerintah di daerahnya. Kemudian, ia
dijual ke pelabuhan untuk menjadi budak, dan dipekerjakan di sebuah
kapal Feri lintas pulau, di laut timur.
Empat tahun dalam masa
kejayaan karirnya, ada yang dengan pesat berubah. Bukan hanya tampilan
& gaya hidupnya. Termasuk keyakinannya. Ia mulai mempertanyakan
kembali, akan kebenaran Yang Maha. Bila Ia ada, kenapa Ia membiarkan
kedua orangtuanya, yang begitu taat pada-Nya, mati dengan tragis? Kenapa
dia juga harus mengalami penghinaan jiwa & raga, yang dilakukan
oleh seniornya di kabin kapal ? Ia mulai percaya pada yang nampak saja.
Pada uang, wanita dan jabatan.
Setelah semalaman ia bercinta dengan Silviana, seorang aktris film yang sedang naik daun. Kamar VIV pesanan sang kapten, terkunci sangat rapat. Dengan penegasan, “don’t Distrub!”. Ketika mayoritas orang masih meni’mati pesta, ia dan sang aktris dengan tergesa menuju kamar VIV, dengan sedikit mariyuana[1], dua botol Vodca dingin, dan jarum suntik. Kini ia menjadi pecandu morfin. Yang tersisa dari malam itu, hanya desahan dan suara berdecit dari per ranjang yang bergoyang.
***
Pagipun
datang. Matahari terbit dengan sangat percaya diri. Laut begitu tenang,
langit kosong, tiada awan. Orang-orang mulai terbangun, termasuk sang
Kapten. Ia bergegas mandi dan bersiap untuk kembali ke Dek. Sementara si
aktris, masih lemas terkulai di ranjang. Pagi begitu tentram,
bermelodikan elegy, hanya baginya. Yang lainnya abai. Ia ambil kembali
lintingan mariyuana sisa semalam, berjalan ke arah menara
kapal. Si aktirs ternyata mengikutinya, dengan cumbu-rayunya, tak bisa
terelakkan lagi, dan mereka berdua bercinta kembali di atas dek, tak
malu disaksikan mentari & langit.
Mendadak, segumpal besar awan cumulonimbush mendekat
kearah pesiar itu. Hitam, pekat, dan menakutkan. Angin mulai berhembus
tak beraturan, memecah ketenangan yang tadi meninabobokan seluruh
pengisi kapal. Mulai terdengan lengkingan & pekik teriakan histeris
nan ketakutan. Kapal gagah perkasa itu tak kuasa menahan hempasan ombak
yang berkali-kali lipat, dari ukurannya. Bak menjadi mainan anak kecil,
di bak mandi. Awan itu datang, biasanya karena ketidakstabilan atmosfer,
secara ilmiah. Lebih jauhnya mungkin, kehendak Tuhan. Nama yang
beberapa tahun ini, ia lupakan.
“Sayang, aku takut…” ucap Silviana resah.
“Tenang sayang, kapal ini canggih dan didisgn sedemikian rupa untuk
pertahanan ketika badai datang…”, ujar sang Kapten tegas.
“Tapi, kali ini aku benar-benar takut, seolah – olah ku lihat, malaikat
maut menari-nari di sekeliling kapal ini…” ia mulai menangis.
“Tenag…, tenang-lah sayang, kematian tidak akan datang pada kita…kita
akan hidup abadi dan saling mencintai selamanya”, Ia peluk wanita itu,
dan berciuman.
Angin semakin tak terkendali, ini adalah hurricane atau
yang biasa orang sebut sebagai topan. Ombak entah setinggi apa, menyapu
pesiar itu. Ia terhempas, air laut masuk ke semua penjuru kapal.
“Murka dari Posaidon, aku bertobat padamu…., wahai dewa laut Yang Agung”, jeritan seorang pejabat, memelas.
“Oh Bapak di surga, selamatkan kami…selamatkan kami….”
“Ya Allah, selamatkan kami… kami akan bertaubat jika selamat, aku mohon ya Allah…”
Begitu
bisingnya nama Tuhan disebut. Tuhan manapun itu. Yang hanya mereka
ingat ketika badai datang. Ketika dalam kesusahan. Ketika senang, ketika
lengang Tuhan hanya menjadi nama sakral, sekedar motos saja. Hanya
menjadi kalung berbentuk lelaki yang tersalib, hanya menjadi ukiran
kaligrafi yang dipajang di dinding. Begitupun kitabsuciNya. Berdebu,
tertumpuk, hanya untuk pajangan lemari belaka.
“Ah…, di mana aku?” bisiknya.
“Apakah sudah mati?, apakah ini neraka?”
“Kau belum ku izinkan mati, ada yang ingin ku uji sekali lagi dari mu”,
ada suara dari lagit, yang samar-samar ia dengar.
Matanya mulai terbuka, ia hanya mengambang diatas sebongkah kayu, puing-puing pesiar.
“Apa maksud ucapan Mu?” teriaknya.
“Tolong, jawablah!”
“Siapa itu?, kau kah itu, Tuhan?”
“Aku selamatkan kau, hiduplah sekali lagi. Mampukah kau melewati ini?” ucap suara misterus itu.
“Aku tak mengerti, kenapa kau berlaku tak adil padaku? Lebih baik, ambil saja nyawaku sekarang!!!”. Pekiknya.
Gambar by: Google |
“Tidak, akan tiba waktu Ku, untuk mengambil nyawa mu. Tapi tidak hari ini, bukan di tempat ini”, jawabNya tegas.
“Tuhan!, kumohon jangan siksa aku lebih dari ini, aku akan segera bertaubat bila Engkau menyelamatkanku”, rengeknya.
“Bawa aku kedaratan, aku kan bartaubat”, pintanya penuh harap.
“Tuhan… !”
“Kumohon, jawablah…!”
Tak
ada jawaban, suara itu tak akan terdengar lagi. Ia menangis, apa yang
sejak dulu ia kumpulkan, semua hancur. Setiap pencapaiannya untuk
tahapan-tahapan mutiara kesenangan dunia, tak berguna. Kini, entah di
samudra belahan mana ia berada. Terombang-ambing diatas sebongkah kayu,
hanya sendiri. ***
(langit-langit kamar, 07/10/14)
[1] Cannabis sativa.
0 komentar:
Posting Komentar