Sabtu, 21 Maret 2015

Album Kenangan: “Memanen Ketimun”



“Memanen Ketimun”
Oleh: Fikri A. Gholassahma


Begitu nikmatnya menjadi manusia. Sesekali, kita bisa dengan leluasa kembali ke masa yang telah lalu. Di lain kesempatan, kita bisa mendatangi masa depan. Tidak perlu menciptakan mesin waktu, sebetulnya. Pintu kemana saja milik Doraemonpun kiranya tak perlu. Perjalanan ke masa lalu dan masa depan itu bisa kita lakukan sambil berjalan, sabil duduk pun bisa, tapi posisi yang paling enak adalah sambil berbaring. Ya, itulah kelebihan kita sebagai manusia, perjalanan kemana saja, bisa kita lakukan. Walaupun hanya…. dalam fikiran. Belum tentu hal ini bisa dilakukan hewan dan tumbuhan, bukan?
Orang bilang, hujan menyimpan suatu kekuatan mistik. Terasa. Bagi ku pribadi, ia bak teman yang acapkali mengajak kita untuk bermain. Bermain dalam rintiknya, berlari dalam rinainya. Seperti kala ini, ia datang kembali mengetuk-ngetuk kaca jendela. “Mari kawan, lekas lah bersiap. Akan ku antar kau ke masa itu. Masa saat kau berlari dengan bebas…menari-nari dalam rinaiku”, bisiknya. “Mari…” jawabku. “Ini waktumu…, nikmatilah” pungkasnya.
Aku terpejam, hanya terdengar gelegar petir dan gemuruh kawanku yang kian menjadi. Ia mengajakku ke empat belas tahun yang lalu.  Masa-masa yang terlupakan karena tertindih hal-hal yang datang dan pergi tak karuan. Saat itu hari Sabtu. Sekolah libur karena tanggal merah di kalender. Aku tak ke mana-mana, diam saja di rumah. Memang bisa dikategorikan anak yang kuuleun & kurung batokeun. Hanya bermain di sekitar wilayah rumah. Paling jauh hanya sampai ke desa sebelah. Atau, di lingkungan sekolah, karena aku tak bersekolah di desa tempat ku tinggal.
“Fikri…, urang ameng…!” suara itu tak asing bagiku. “Fikri…, urang ameng!” ya itu suaranya. Temanku, Fauzan namanya, Jan-jan panggilannya. Temanku sejak sebelum masuk sekolah dasar, hingga kini. Ia yang mengenalkanku pada berbagai ragam permainan kanak-kanak. Panggal, ngadu muncang, langlayangan, dll. Anak tangguh dan pemberani. Pernah sekali ia hampir ditampar oleh seorang kakek. Karena bola sepak yang kami mainkan masuk ke kebun miliknya. Si kakek sudah terkenal sangar, terutama pada anak-anak.  Tak ada seorangpun yang berani mengambil bola. Kecuali, ya si Jan-jan. Dengan tanpa pikir-panjang ia langsung turun ke kebun dan membawa bola. Dengan gagah berani ia berjalan melalui semak-semak, dan menginjak deretan sosin yang tertanam dengan rapi. Walhasil ia harus menerima cari-maki dari sang pemilik kebun, si kake yang galak, bahkan hampir ditampar.
Sabtu itu, ia mengajakku bermain. Ada yang janggal dengan-nya hari itu. Bila bermain, biasanya ia hanya memakai celana pendek, kaos oblong dan tak bersandal. Menjinjing truk mainan kecil, membawa segepok gambar, atau muncang. Atau membawa golongan kenur untuk bermain layang-layang. Kala itu, ia tak membawa barang-barang tadi. Hanya membawa kantung kecil yang sering kami sebut kanjutkundang, dan …. kerupuk!
Ketika terpejam, sempat aku tersenyum. Bagiku hal itu sangat lucu.
Kami biasa berjalan kaki untuk sampai ke sebuah lapang dekat rumah, tempat kami bermain.  Karena seringnya kami bermain, aku tertular beberapa kebiasaannya. Seperti…, bermain tanpa sandal. Kami biasa seperti itu, di permulaan memang terasa sakit. Ketika kulit kaki bergesekan dengan kerikil-kerikil kecil yang tak mau menyingkir saat kami berjalan. Tapi seperti pepatah bilang, “ala bisa, karna biasa”. Akhirnya, kulit telapak kaki kami tak pernah risih kembali, bila bergesekan dengan kerikil.
Gamabar: Google
Biasanya kami bermain tanpa arah. Terkadang, dalam sehari—ketika libur—kami bisa memaikan emapat hingga 5 permainan. Hidup untuk bermain. Ketika itu bermain memang menjadi rutinitas. Kami belum terbebani tugas membuat makalah, atau presentasi kelompok dadakan. Ia membawa ku sesebuah lapangan luas. Orang desa biasa menyebutnya lapang saar. Tempat bermain bola, olah raga, dan bahkan untuk balap merpati. Lapang itu menjadi bagian hidup kami semasa kecil, kini hamparan hijau itu telah salin rupa menjadi jajaran perumah bernama Tirta Regenci, milik babah yang entah datang dari mana.
Setelah berjalan mengitari pinggiran lapangan, kami terus berangkat. Ia bilang, “sepertinya kita harus segera pergi”. “Ke mana?” tanyaku. “Nanti kau tahu” ujarnya sambil tersenyum. Ia berjalan dengan tergesa-gesa. Langonsari Indah sudah terlewati, kini sudah sampai di perbatasan antara Langonsari dan Pameutingan. Ia tiba-tiba berhenti di jembatan penghubung kedua desa itu. “Airnya tak teralu deras, cocok untuk bermain…” gumamnya. “kita akan bermain di Cisangkuy?” tanyaku. “Tidak, hari ini. Kita akan ke irigasi di Cihérang” jawabnya.
Cisangkuy adalah anak sungai Citarum. Dulu, kata nenek-kakekku airnya jernih tak berbeda jauh dari sumbernya, di Cisanti. Ia menjadi bagian penting bagi penduduk desa Langonsari dan Pameutingan.  “Kami mandi, mencuci dan bermain di Cisangkuy. Bahkan, di hari-hari tertentu, seperti Iedaén dan 17-an, sungai Cisangkuy akan dipenuhi warga. Anak-anak bermain “paparahuan”, dan orang dewasa menggelar tikar di bibir sungai. Tidak perlu berangkat ke Ciwidey atau ke Pangalengan bila ingin refresing”, dongeng kakek ku dulu.
Ibu juga pernah bercerita, di dekat sungai, dulu ada sebuah pohon besar, pohon loa. Dahan-dahannya yang besar dan kuat, menjadi tempat Favorit anak-anak bergelantungan dan melompat ke Cisangkuy yang berada di bawahnya. Sayangnya, generasi ku tak sempat mengalami hal itu. Ketika kami tumbuh, keindahan Cisangkuy hanya tersisan sedikit, Pohon loa telah tiada, jernih Cisangkuy pun menjadi kecoklatan. Usut punya usut, karena mulai bermunculan pabrik-pabrik yang dengan sengaja membuang limbah ke alirannya. Kami hanya sempat turun dan bermain dipinggirannya, sambil mencari keuyeup dan ikan tampélé. Paling rugi adalah generasi adikku. Ia yang lahir sepuluh tahun setelahku, hanya mendapati Cisangkuy yang lain. Cisangkuy yang telah berubah menjadi Cihideung. Aliran airnya begitu hitam, juga bau.
Kini kami tengah berjalan menyusuri gang-gang di Pameutingan. Setelah melewati beberapa jalan agak besar, kami pun tiba di area pesawahan yang luas. Mayoritas penduduk di sisni adalah petani, tapi untuk selingan, terkadang mereka berkebun. Menanam écéng, bayem dan mentimun. Kala itu sedang musim mentimun. Sawah-sawah menjadi kebun mentimun. Beberapa petani telah keliatan memanen mentimun yang mereka tanam. Berton-ton mentimun diangkut keatas delman. Mobil dolak belum begitu ramai kala itu. “Mari, Fik. Kita langsung menyusup saja” bisiknya sambil tertawa. “Kita mau apa? Ngurek? Bukannya sedang tak musim belut?” tanyaku. Deretan pertanyaan dari ku ia hiraukan. Ia hanya tersenyum, berjalan terus menyusuri pematang sawah. Aku megikutinya.
Kini, ia berjalan sedikit mengendap-endap. Badannya dibungkukkan, matanya menerawang ke segala aran. Kemudian berisarat padaku agar tetap diam dan tak membuat keributan. Kami berhenti di depan sebuah kebun mentimun yang telah berbuah. Timun-timun bergelantungan, siap dipanen oleh yang punya. “Nah, ini dia yang kita cari” bisiknya sambil tersenyum. Melihat gelagatnya, aku makin heran. “Fik, tolong pegang ini dulu” sambil menyodorkan kerupuk yang dari tadi ia bawa. Kugapai kerupuk itu, dan serta-merta menggigit plastik yang membungkusnya. “Tunggu sebentar” bisiknya. Dengan cekatan, ia memetik beberapa ketimun masak dan besar. Ia jatuhkan di pinggir, beberapa ia masukkan kedalam kanjutkundang.
Ia mendekatiku, kami kemudian jongkok agak membungkuk di petakan sawah itu. “Begini, biar kucontohkan” ucapnya sambil tersenyum. Ia mengambil kerupuk yang telah ku buka bungkusnya. Tangan kanannya memegang kerupuk, dan tangan kirinya memegang mentimun. “grauk…!” ia menggigit kerupuk terlebih dahulu. “grauk…!” disusul dengan hantaman giginya  yang mendarat di mentimun segar, menyusul gurih renyahnya kerupuk yang telah lebur dalam mulutnya.
 Aku tersenyum, tanpa intruksi darinya, langsung saja ku tiru apa yang telah dahulu ia lakukan. “Grauk…!”, “grauk…!” kerupuk dan mentimun lebur di mulutku. Aku menatap ke langit. Ini begitu nikmat. Hingga sebungkus besar kerupuk itu habis, kami terus pulang. “Inilah enaknya bila datang ke sini. Ada mentimun petik sendri”. Ucapnya, seperti biasa…sambil tersenyum. Kami pun tertawa.
Gelegar petir yang sangat kencang membuatku terperanjat. Aku terbangun dari lamunan, hujan masih menari di luar. “Terimakasih kawan” gumamku. “Itu perjalanan yang asyik…” Beberapa hari yang lalu, aku sengaja berjalan ke Pameutingan. Begitu sedihnya, saat ku tahu “kebun timun petik sendiri” yang dulu sering kami datangi, kini telah menjadi pabrik tekstil, yang menurut rumornya, dimiliki oleh babah sipit. Kerupuk & mentimun, lebur dalam ingatan. ***
LPIK, Maret 2015. Saat para lelaki dewasa tengah bersiap untuk Jum’atan.

0 komentar:

Posting Komentar