“Memanen Ketimun”
Oleh: Fikri A. Gholassahma
Begitu
nikmatnya menjadi manusia. Sesekali, kita bisa dengan leluasa kembali ke masa
yang telah lalu. Di lain kesempatan, kita bisa mendatangi masa depan. Tidak
perlu menciptakan mesin waktu, sebetulnya. Pintu kemana saja milik
Doraemonpun kiranya tak perlu. Perjalanan ke masa lalu dan masa depan itu bisa
kita lakukan sambil berjalan, sabil duduk pun bisa, tapi posisi yang paling
enak adalah sambil berbaring. Ya, itulah kelebihan kita sebagai manusia, perjalanan
kemana saja, bisa kita lakukan. Walaupun hanya…. dalam fikiran. Belum tentu hal
ini bisa dilakukan hewan dan tumbuhan, bukan?
Orang
bilang, hujan menyimpan suatu kekuatan mistik. Terasa. Bagi ku pribadi, ia bak
teman yang acapkali mengajak kita untuk bermain. Bermain dalam rintiknya,
berlari dalam rinainya. Seperti kala ini, ia datang kembali mengetuk-ngetuk
kaca jendela. “Mari kawan, lekas lah bersiap. Akan ku antar kau ke masa itu.
Masa saat kau berlari dengan bebas…menari-nari dalam rinaiku”, bisiknya. “Mari…”
jawabku. “Ini waktumu…, nikmatilah” pungkasnya.
Aku
terpejam, hanya terdengar gelegar petir dan gemuruh kawanku yang kian menjadi.
Ia mengajakku ke empat belas tahun yang lalu.
Masa-masa yang terlupakan karena tertindih hal-hal yang datang dan pergi
tak karuan. Saat itu hari Sabtu. Sekolah libur karena tanggal merah di
kalender. Aku tak ke mana-mana, diam saja di rumah. Memang bisa dikategorikan
anak yang kuuleun & kurung batokeun. Hanya bermain di sekitar
wilayah rumah. Paling jauh hanya sampai ke desa sebelah. Atau, di lingkungan
sekolah, karena aku tak bersekolah di desa tempat ku tinggal.
“Fikri…,
urang ameng…!” suara itu
tak asing bagiku. “Fikri…, urang ameng!” ya itu suaranya. Temanku,
Fauzan namanya, Jan-jan panggilannya. Temanku sejak sebelum masuk sekolah
dasar, hingga kini. Ia yang mengenalkanku pada berbagai ragam permainan
kanak-kanak. Panggal, ngadu muncang, langlayangan, dll. Anak tangguh dan
pemberani. Pernah sekali ia hampir ditampar oleh seorang kakek. Karena bola
sepak yang kami mainkan masuk ke kebun miliknya. Si kakek sudah terkenal
sangar, terutama pada anak-anak. Tak ada
seorangpun yang berani mengambil bola. Kecuali, ya si Jan-jan. Dengan
tanpa pikir-panjang ia langsung turun ke kebun dan membawa bola. Dengan gagah
berani ia berjalan melalui semak-semak, dan menginjak deretan sosin yang
tertanam dengan rapi. Walhasil ia harus menerima cari-maki dari sang pemilik
kebun, si kake yang galak, bahkan hampir ditampar.
Sabtu
itu, ia mengajakku bermain. Ada yang janggal dengan-nya hari itu. Bila bermain,
biasanya ia hanya memakai celana pendek, kaos oblong dan tak bersandal.
Menjinjing truk mainan kecil, membawa segepok gambar, atau muncang. Atau
membawa golongan kenur untuk bermain layang-layang. Kala itu, ia tak
membawa barang-barang tadi. Hanya membawa kantung kecil yang sering kami sebut kanjutkundang,
dan …. kerupuk!
Ketika
terpejam, sempat aku tersenyum. Bagiku hal itu sangat lucu.
Kami
biasa berjalan kaki untuk sampai ke sebuah lapang dekat rumah, tempat kami
bermain. Karena seringnya kami bermain,
aku tertular beberapa kebiasaannya. Seperti…, bermain tanpa sandal. Kami biasa
seperti itu, di permulaan memang terasa sakit. Ketika kulit kaki bergesekan
dengan kerikil-kerikil kecil yang tak mau menyingkir saat kami berjalan. Tapi
seperti pepatah bilang, “ala bisa, karna biasa”. Akhirnya, kulit telapak
kaki kami tak pernah risih kembali, bila bergesekan dengan kerikil.
Gamabar: Google |
Biasanya
kami bermain tanpa arah. Terkadang, dalam sehari—ketika libur—kami bisa
memaikan emapat hingga 5 permainan. Hidup untuk bermain. Ketika itu bermain
memang menjadi rutinitas. Kami belum terbebani tugas membuat makalah, atau presentasi
kelompok dadakan. Ia membawa ku sesebuah lapangan luas. Orang desa biasa
menyebutnya lapang saar. Tempat bermain bola, olah raga, dan bahkan
untuk balap merpati. Lapang itu menjadi bagian hidup kami semasa kecil, kini
hamparan hijau itu telah salin rupa menjadi jajaran perumah bernama Tirta
Regenci, milik babah yang entah datang dari mana.
Setelah
berjalan mengitari pinggiran lapangan, kami terus berangkat. Ia bilang, “sepertinya
kita harus segera pergi”. “Ke mana?” tanyaku. “Nanti kau tahu” ujarnya
sambil tersenyum. Ia berjalan dengan tergesa-gesa. Langonsari Indah sudah
terlewati, kini sudah sampai di perbatasan antara Langonsari dan Pameutingan.
Ia tiba-tiba berhenti di jembatan penghubung kedua desa itu. “Airnya tak
teralu deras, cocok untuk bermain…” gumamnya. “kita akan bermain di
Cisangkuy?” tanyaku. “Tidak, hari ini. Kita akan ke irigasi di Cihérang”
jawabnya.
Cisangkuy
adalah anak sungai Citarum. Dulu, kata nenek-kakekku airnya jernih tak berbeda
jauh dari sumbernya, di Cisanti. Ia menjadi bagian penting bagi penduduk desa
Langonsari dan Pameutingan. “Kami
mandi, mencuci dan bermain di Cisangkuy. Bahkan, di hari-hari tertentu, seperti
Iedaén dan 17-an, sungai Cisangkuy akan dipenuhi warga. Anak-anak bermain
“paparahuan”, dan orang dewasa menggelar tikar di bibir sungai. Tidak perlu
berangkat ke Ciwidey atau ke Pangalengan bila ingin refresing”, dongeng
kakek ku dulu.
Ibu
juga pernah bercerita, di dekat sungai, dulu ada sebuah pohon besar, pohon loa.
Dahan-dahannya yang besar dan kuat, menjadi tempat Favorit anak-anak
bergelantungan dan melompat ke Cisangkuy yang berada di bawahnya. Sayangnya,
generasi ku tak sempat mengalami hal itu. Ketika kami tumbuh, keindahan
Cisangkuy hanya tersisan sedikit, Pohon loa telah tiada, jernih
Cisangkuy pun menjadi kecoklatan. Usut punya usut, karena mulai bermunculan
pabrik-pabrik yang dengan sengaja membuang limbah ke alirannya. Kami hanya
sempat turun dan bermain dipinggirannya, sambil mencari keuyeup dan ikan
tampélé. Paling rugi adalah generasi adikku. Ia yang lahir sepuluh tahun
setelahku, hanya mendapati Cisangkuy yang lain. Cisangkuy yang telah berubah
menjadi Cihideung. Aliran airnya begitu hitam, juga bau.
Kini
kami tengah berjalan menyusuri gang-gang di Pameutingan. Setelah melewati
beberapa jalan agak besar, kami pun tiba di area pesawahan yang luas. Mayoritas
penduduk di sisni adalah petani, tapi untuk selingan, terkadang mereka
berkebun. Menanam écéng, bayem dan mentimun. Kala itu
sedang musim mentimun. Sawah-sawah menjadi kebun mentimun. Beberapa petani
telah keliatan memanen mentimun yang mereka tanam. Berton-ton mentimun diangkut
keatas delman. Mobil dolak belum begitu ramai kala itu. “Mari, Fik. Kita
langsung menyusup saja” bisiknya sambil tertawa. “Kita mau apa? Ngurek?
Bukannya sedang tak musim belut?” tanyaku. Deretan
pertanyaan dari ku ia hiraukan. Ia hanya tersenyum, berjalan terus menyusuri
pematang sawah. Aku megikutinya.
Kini,
ia berjalan sedikit mengendap-endap. Badannya dibungkukkan, matanya menerawang
ke segala aran. Kemudian berisarat padaku agar tetap diam dan tak membuat
keributan. Kami berhenti di depan sebuah kebun mentimun yang telah berbuah.
Timun-timun bergelantungan, siap dipanen oleh yang punya. “Nah, ini dia yang
kita cari” bisiknya sambil tersenyum. Melihat gelagatnya, aku makin heran. “Fik,
tolong pegang ini dulu” sambil menyodorkan kerupuk yang dari tadi ia bawa.
Kugapai kerupuk itu, dan serta-merta menggigit plastik yang membungkusnya. “Tunggu
sebentar” bisiknya. Dengan cekatan, ia memetik beberapa ketimun masak dan
besar. Ia jatuhkan di pinggir, beberapa ia masukkan kedalam kanjutkundang.
Ia
mendekatiku, kami kemudian jongkok agak membungkuk di petakan sawah itu. “Begini,
biar kucontohkan” ucapnya sambil tersenyum. Ia mengambil kerupuk yang telah
ku buka bungkusnya. Tangan kanannya memegang kerupuk, dan tangan kirinya
memegang mentimun. “grauk…!” ia menggigit kerupuk terlebih dahulu. “grauk…!”
disusul dengan hantaman giginya yang
mendarat di mentimun segar, menyusul gurih renyahnya kerupuk yang telah lebur
dalam mulutnya.
Aku
tersenyum, tanpa intruksi darinya, langsung saja ku tiru apa yang telah dahulu
ia lakukan. “Grauk…!”, “grauk…!” kerupuk dan mentimun lebur di mulutku.
Aku menatap ke langit. Ini begitu nikmat. Hingga sebungkus besar kerupuk itu
habis, kami terus pulang. “Inilah enaknya bila datang ke sini. Ada mentimun
petik sendri”. Ucapnya, seperti biasa…sambil tersenyum. Kami pun tertawa.
Gelegar
petir yang sangat kencang membuatku terperanjat. Aku terbangun dari lamunan,
hujan masih menari di luar. “Terimakasih kawan” gumamku. “Itu
perjalanan yang asyik…” Beberapa hari yang lalu, aku sengaja berjalan ke
Pameutingan. Begitu sedihnya, saat ku tahu “kebun timun petik sendiri” yang
dulu sering kami datangi, kini telah menjadi pabrik tekstil, yang menurut
rumornya, dimiliki oleh babah sipit. Kerupuk & mentimun, lebur dalam
ingatan. ***
LPIK, Maret
2015. Saat para lelaki dewasa tengah bersiap untuk Jum’atan.
0 komentar:
Posting Komentar