“Pengelolaan
Media Massa Islam dan Pembacanya”
Oleh:
Abdurrahman Wahid
Media massa
Islam telah membuktikan kehadiran dirinya dalam kehidupan bangsa Indonesia
sejak permulaan abad ini, yaitu semenjak media khalayak dikenal di kawasan ini.
Salah satu sebabnya adalah kebutuhan untuk menampilkan pemikiran baru yang
berkembang di bidang agama di kalangan kaum muslimin Indonesia. Baik sebagai
sesuatu yang berkembang dari inisiatif sendiri, maupun sebagai umpan balik bagi
pemikiran yang datang dari atau berkembang di luar kawasan Nusantara, apa yang
dipikirkan para pemikir muslim di negeri ini memerlukan penyaluran, oleh
karenanya media massa Islam lahir hampir bersamaan dengan munculnya
organisasi-organisasi Islam sejak semula.
Ada dua jenis
pemikiran yang ditawarkan oleh media massa Islam waktu itu. Pertama, pemikiran
tentang hukum agama, biasanya dalam bentuk tanya-jawab masalah-masalah
keagamaan (masa-il diniyyah). Adakalanya tanya-jawab dituangkan dalam
bentuk pemberian informasi belaka, namun adakalanya juga dituangkan dalam
bentuk polemik dengan pandangan-pandangan lain dari pihak yang saling
bertentangan. Masing-masing pandangan hanya membenarkan pendapat sendiri, dan
meremehkan (bahkan menyalahkan) pendapat orang lain dalam masalah rincian
ibadah (masa-il furu’iyyah). Bentuk lain dari penawaran media massa
Islam di negeri ini adalah penyajian pemikiran-pemikiran makro tentang
kehidupan beragama dan bermasyarakat kaum muslimin, termasuk
pandangan-pandangan yang dianggap mewakili Islam tentang negara dan sebagainya.
Kalau terjadi perdebatan dalam pikiran yang disajikan, maka biasanya terjadi
antara mereka yang melihat realisasi ajaran agama adalah kehidupan masyarakat
dalam konteks formal, dan mereka yang justru menampilkan kerangka kehidupan
beragama yang tidak berdasarkan acuan keagamaan sama sekali.
Dari jenis
kedua yang disajikan media massa Islam di masa lampau, dapat diikuti kembali
melalui dokumentasi pers kita. Perdebatan sangat lama antara Bung Karno dan
Muchlis, nama samara Moh. Natsir, tentang bentuk negara yang seharusnya
didirikan, jika Indonesia telah mencapai kemerdekaan nantinya. Perdebatan di
tahun-tahun tigapuluhan itu diikuti oleh masyarakat dengan tekun dan penuh
perhatian. Begitupun perdebatan Bung Karno dengan Agus Salim. Juga para pemikir
muslim dengan pemikir sosialis seperti Tan Malaka. Masyarakat merasa terikat
dengan para pengelola media massa Islam di waktu itu, karena masalah-masalah
makro maupun kasus-kasus mikro yang disajikan merupakan kebutuhan mereka
sendiri. Masalah-masalah makro, karena akan menentukan masa depan bangsa dan
negara, jadi mengenai nasib bersama seluruh warga masyarakat. Kasus-kasus
mikro, seperti masalah-masalah hukum agama, diminati karena masyarakat sendiri
memang masih memerlukan informasi cukup dan karena fragmentasi pandangan
keagamaan warga masyarakat masih sangat luas liputannya.
Apa yang
dikemukakan di atas menunjukan pentingnya arti identifikasi permasalahan oleh
masyarakat yang diharapkan menjadi pembaca media massa yang diterbitkan.
Hal-hal lain yang sering diabaikan, tanpa ada akibat negatif atas diri media
massa Islam itu sendiri. Sisi pemasaran media massa Islam itu sendiri sangat
diabaikan. Kesemuanya itu tidak membawa akibat negatif apapun atas kehadiran
media massa Islam di masa itu.
Namun keadaannya
sudah sangat berubah di saat ini. Tuntunan akan keapikan teknis dan wajah
estetis jelas harus memperoleh perhatian tersendiri, kecuali oleh media
kalangan terbatas (yang juga mungkin memiliki sirkulasi cukup luas, seperti
“Al-Muslimun” dari Bangil atau “Aula” dari pengurus wilayah NU Jawa Timur saat
ini). Kemampuan menjajakan media massa Islam melalui teknik-teknik pemasaran
dan kecanggihan administratif yang memadai (seperti berbagai sayembara
berhadiah peluang melakukan ibadah haji atau umroh dan sebagainya). Itupun
masih belum memberikan jaminan akan daya tarik kuat media massa Islam yang
bersangkutan, karena masih ada sisi lain yang masih sangat kurang memperoleh
perhatian saat ini. Teknik cetak yang modern, yang mampu menghasilkan tata warna
yang indah dan jelas, dikombinasikan dengan teknik tatap muka yang nyaman bagi
mata pembaca, juga sangat menentukan laku atau tidaknya media massa Islam bagi
kalangan kelompok pembaca yang diharapkan. Demikian juga penyajian dalam
ungkapan bahasa yang benar, segar dan enak dibaca, merupakan hal yang
mendapatkan penilaian tersendiri dari para pembaca. Terakhir, hadirnya
nama-nama beken sebagai penulis atau narasumber.
Namun,
kesemuanya itu adalah sarana penyajian bagi sesuatu yang lebih substansial
bagi pembaca. Pembaca mencari media massa Islam adalah untuk mencari jawaban
bagi hal-hal yang dipikirkan, dibutuhkan atau direfleksikan. Dengan demikian,
faktor isi yang disajikan media massa Islam, tetap merupakan dasar bagi
perhatian pembaca. Namun, corak dari penyajian isi itu memiliki beberapa ciri
tersendiri. Salah satu di antaranya adalah rentang perhatian (span of
interest) pembaca saat ini sudah menjadi sangat pendek, sehingga polemik
berkepanjangan, yang berlangsung berbulan-bulan, tidak begitu saja dapat menarik
perhatian pembaca. Demikian juga, diferensiasi permasalahan juga sudah menjadi
begitu tajam dan terinci. Sehingga hal-hal umum saja dalam isi yang disajikan
akan terasa membosankan. Demikian pula, sisi human interest dari isi
yang disajikan merupakan hal yang harus ditonjolkan dalam porsi cukup besar.
Dalam konteks
ini, sebuah segi yang mutlak memerlukan perhatian adalah orientasi media massa
Islam yang ditawarkan kepada para pembaca. Orientasi yang jelas akan mengikat
seluruh tulisan dan gambar yang disajikan pada satu acuan yang jelas dan
konsisten, sehingga tidak membingungkan pembaca.
Parabot Dakwah (Gambar dari saripedia.wordpress.com) |
Jika salah
satu media massa Islam menampilkan di satu halaman tulisan tentang sikap
rasional dari Islam, kemudian di halaman lain yang tampil justeru kesempitan pandangan
Islam, tentu akan berakibat terganggunya konsentrasi pembaca. Hal ini boleh
dikata baru difahami oleh bagian sangat kecil dari dunia media massa Islam di
negeri kita dewasa ini. Konsistensi sikap, kualitas pemikiran dan jangkauan pandangan yang ditampilkan media massa Islam
akan merupakan persyaratan mutlak (condition
sine qua non) di masa depan,
karena saat inipun sudah dituntut oleh para pembaca secara masif (seperti
terlihat dari isi surat-surat pembaca dan pendapat pembaca yang dimuat media massa
Islam sendiri saat ini).
Dari apa yang diuraikan di atas, menjadi jelas bagi kita, bahwa
hubungan antara pengelola media massa Islam dan kalangan pembacanya tengah
mengalami perubahan corak dan wataknya. Hubungan itu semakin bersifat lugas,
dalam arti tuntutan pembaca adalah penentu keberhasilan media massa Islam itu
sendiri untuk tetap bertahan. Dengan demikian, profesionalisme jurnalistik para
pengelola itu merupakan jaminan akan kesetiaan para pembaca kepad media massa
Islam.
Di sisi lain, penyebaran geografis para pembaca, dan dengan demikian
penyebaran kultural mereka, mengalami perkembangan sangat kompleks, sehingga
penyajian isi harus memperhitungkan hal itu. Para pengelola dituntut untuk
mengetahui lebih mendalam perasaan, minat dan perhatian pembaca yang semakin
beragam itu. Tanpa memperhatikan hal itu, dengan hanya memperhatikan
kebutuhannya sendiri, hubungan pengelola media massa Islam dengan pembacanya,
baik yang aktual maupun potensial, akan menjadi sangat jauh.
Jelas lah dari uraian di atas, bahwa eratnya hubungan antara pengelola
media massa Islam dan kalangan pembacanya sangat ditentukan oleh kemampuan para
pengelola itu sendiri untuk menangkap dengan tepat kebutuhan para pembaca, dan
merefleksikan kebutuhan itu dalam apa yang disajikan melalui media massa Islam
itu sendiri. Hal-hal lainnya hanyalah merupakan sisi penunjang bagi keharusan
sangat mendasar ini. Hubungan yang tumbuh akan menjadi sesuatu yang matang dan
erat karena ada kejelasan fungsionalisasi di lingkungan media massa Islam.***
(1.19.1989)
0 komentar:
Posting Komentar