Rabu, 02 Maret 2016

Tuan Holla: Waspada dan Sunda*




Oleh: Fikri A. Gholassahma**


Kala itu keadaan ekonomi di benua Eropa sedang goncang. Mayoritas penduduk merasakan imbas dari peristiwa ini, termasuk keluarganya. Ia beserta keluarga berhijrah dari kampung halaman, untuk mengadu nasib di Hindia Belanda.
Ia, Karel Frederik Holle (1829-1896), adalah salah satu dari delapan bersaudara, putra Alexandrine A. van der Hucht dan Pieter Holle. Kala depresi ekonomi di Eropa terjadi ayahnya yang memiliki usaha gula, bangkrut. Kemudian di tahun 1844, ia menerima ajakan iparnya, Willem van der Hucht, untuk pindah ke Hindia Belanda dengan keluarganya, dan tiba di Batavia pada tahun 1845.
Pada tahun 1846, atas wasilah dari pamannya Willem van der Hucht, K.F. Holle menjadi juru tulis di sebuah kantor pemerintahan. Ibunya pindah ke Batavia saat Holle dapat pekerjaan. Salahsatu saudaranya, Pauline Holle, menikah dengan seorang bankir bernama N. P. van den Berg (dalam Nelleke Noordervliet, Brieven van de tee, 2004). Di kemudian hari, iparnya inilah yang   memberi bantuan modal, untuk mendapatkan hak guna tanah perkebunan di Cikajang, Garut. “Waspada,” begitu ia namai perkebunan teh yang dibukanya pada 1862 itu.
Menurut H.C. H. De Bie (1924), dalam “De Nederlandsch Indische theecultuur (Budidaya Teh di Hindia Belanda), Holle adalah “the Vrend van den Landman” (sahabat para petani). Pada mulanya ia menolong sahabat baiknya R. Haji Mohamad Moesa (hoof-panghulu Limbangan), dengan membagi biji-biji untuk menanami tanahnya di daerah Cigasong, Desa Pasanggrahan, di pinggir jalan besar ke Mangunreja, sekitar 7 pal jaraknya dari ibu kota kewadanaan Garut.
Kemudia biji-biji tersebut diberikan juga ke lurah-lurah desa, dan ke orang Sunda kaya di sekitar Cigedung. Dengan maksud, supaya budidaya teh tersebut juga bisa sampai ke masyarakat kecil. Ia mengajarkan mereka untuk membuat tungku-tungku pengeringan sederhana (dengan biaya kecil), untuk mengeringkan dedaunan teh yang telah digulung dengan tangan atau kaki di atas anyaman bambu atau kawat kasa. Untuk eksplorasi keharuman teh, dedaunan tersebut dicampurkan dengan bunga pacar cina/pacar culan (aglaia odorata Lour) yang belum mekar, atau kembang entéh kamille” (De Bie, 1924, hal. 54).
Dalam buku Seputar Garut susunan Darpan dan Suhardiman (2007), juga dalam artikel Atep Kurnia (2007) yang berjudul “Jasa-jasa Tuan Holla”,  diriwayatkan bahwa Holle adalah seorang yang memiliki perhatian besar terhadap kemajuan masyarakat sekitar lingkungannya. Ia mendatangkan bibit-bibit unggulan dari jenis ternak dan produk pertanian. Ia memprakarsai budidaya ikan air tawar, dengan membuat kolam-kolam kecil di sekitar rumah (Kurnia, 2007) dan domba Garut, dan kacang holle. Ia pun mememberikan penyuluhan sistem bertani di tanah sengked (Darpan & Suhardiman, 2007).
Dalam praktiknya, acap kali ia turun langsung untuk memberikan penyuluhan pada warga. Namun setelah usahanya untuk berkeliling guna memberi penyuluhan, terbukti tidak efektif dan efisien, akhirnya ia berkonklusi, bahwa langkah yang solutif adalah memulai dengan menyentuh kesadaran masyarakat, agar bisa membaca.
Tuan Holla—begitu ia kerap disapa oleh masyarakat—termasuk salah seorang yang pertama mencetak buku-buku bahasa Sunda, juga pengarsipan naskah-naskah Sunda kuna. Ia juga dikenal sebagai ahli linguistik pada masa itu.  Menurut Mikihiro Moriyama dalam Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesasastraan Sunda Abad ke-19 (2013), Tuan Holla juga ikut mengusahakan penulisan bahasa Sunda dengan aksara latin, yang sebelumnya penggunaan aksara untuk menulis adalah aksara Jawa (cacarakan) dan Arab pegon.
Perhatiannya pada pendidikan orang Bumi Putra sangatlah besar. Atas saran darinyalah, pemerintah kolonial mulai mencetak buku-buku sekolah bahasa Sunda. Demikian pula, ia diberi kewenangan untuk menyortir (dengan bantuan Moesa) buku-buku yang hendak diterbitkan (baik yang diterbitkan olehnya ataupun dikirim ke percetakan milik pemerintah, Landsdrukkerij, di Weltevreden (Menteng).
Karel Frederik Holle (Gambar oleh Google)
Namun tulisan-tulisan yang dibukukan, kebanyakan adalah buah tangan para penulis yang tinggal di sekitar daerah Holle, di Garut. Yang paling banyak dibukukan adalah karya sahabat dekatnya, Moh. Moesa. Persahabatannya dengan Moesa telah lama terjalin. Kedekatan ini ditambah dengan perkawinan Holle dengan saudara perempuan Moesa, yang bernama Djoariah (Tom van den Berg, dalam Moriyama, 2013). Bagi Moesa mungkin persahabatan ini sampai satutup umur, karena ia meninggal di tahun (1886).
Karya-karya tulis Holle sendiri, di antaranya Tjarita koera-koera jeung Monyét (bersama A. W. Holle, 1851), Kitab Tjatjarakan Soenda no. 1 (1862), dan terbitan berkala Mitra anoe Tani (1883), yang berisi informasi mengenai teknik bertani, kadang jua memuat karya-karya sastra.
Holle jatuh sakit di tahun 1879. Oleh karena itu, ia pergi ke Bogor dalam rangka penyembuhan dan meninggalkan perkebunannya. Tak lama kemudian perkebuan teh “Waspada” miliknya bangkrut. Setelah Holle sembuh, giliran Moesa yang jatuh sakit, hingga meninggal.  Enam tahun setelah ia pindah ke Bogor, ia mendapat penghargaan bintang jasa Officerkruis van de Orde van Oranje Nassau dari pemerintah Belanda. Holle sendiri tutup umur pada 3 Mei 1896. Untuk mengenang jasa-jasanya, dibangunlah monumen di alun-alun Garut pada 29 Oktober 1899.


*) Tulisan ini tidak jadi dimuat di Media
**)Mahasiswa KPI (2013), Aktif di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung, penikmat kesusastraan Sunda.

0 komentar:

Posting Komentar