Oleh:
Fikri A. Gholassahma**
Kala itu
keadaan ekonomi di benua Eropa sedang goncang. Mayoritas penduduk merasakan
imbas dari peristiwa ini, termasuk keluarganya. Ia beserta keluarga berhijrah
dari kampung halaman, untuk mengadu nasib di Hindia Belanda.
Ia, Karel Frederik Holle (1829-1896), adalah salah satu
dari delapan bersaudara, putra Alexandrine A. van der Hucht dan Pieter Holle. Kala
depresi ekonomi di Eropa terjadi ayahnya yang memiliki usaha gula, bangkrut. Kemudian
di tahun 1844, ia menerima ajakan iparnya, Willem van
der Hucht, untuk pindah ke Hindia Belanda dengan keluarganya, dan tiba di
Batavia pada tahun 1845.
Pada tahun 1846, atas wasilah dari pamannya Willem van der Hucht, K.F.
Holle menjadi juru tulis di sebuah kantor pemerintahan. Ibunya pindah ke
Batavia saat Holle dapat pekerjaan. Salahsatu saudaranya, Pauline Holle, menikah
dengan seorang bankir bernama N. P. van den Berg (dalam Nelleke Noordervliet, Brieven
van de tee, 2004). Di kemudian hari, iparnya inilah yang memberi
bantuan modal, untuk mendapatkan hak guna tanah perkebunan di Cikajang, Garut. “Waspada,”
begitu ia namai perkebunan teh yang dibukanya pada 1862 itu.
Menurut H.C. H. De Bie (1924), dalam “De Nederlandsch Indische
theecultuur (Budidaya Teh di Hindia Belanda), Holle adalah “the
Vrend van den Landman” (sahabat para petani). Pada mulanya ia menolong
sahabat baiknya R. Haji Mohamad Moesa (hoof-panghulu Limbangan), dengan membagi
biji-biji untuk menanami tanahnya di daerah Cigasong, Desa Pasanggrahan, di
pinggir jalan besar ke Mangunreja, sekitar 7 pal jaraknya dari ibu kota
kewadanaan Garut.
Kemudia biji-biji tersebut diberikan juga ke lurah-lurah desa, dan
ke orang Sunda kaya di sekitar Cigedung. Dengan maksud, supaya budidaya teh
tersebut juga bisa sampai ke masyarakat kecil. Ia mengajarkan mereka untuk
membuat tungku-tungku pengeringan sederhana (dengan biaya kecil), untuk
mengeringkan dedaunan teh yang telah digulung dengan tangan atau kaki di atas
anyaman bambu atau kawat kasa. Untuk eksplorasi keharuman teh, dedaunan tersebut
dicampurkan dengan bunga pacar cina/pacar culan (aglaia odorata Lour)
yang belum mekar, atau kembang entéh “kamille” (De Bie, 1924,
hal. 54).
Dalam buku Seputar Garut susunan Darpan dan Suhardiman
(2007), juga dalam artikel Atep Kurnia (2007) yang berjudul “Jasa-jasa Tuan
Holla”, diriwayatkan bahwa Holle
adalah seorang yang memiliki perhatian besar terhadap kemajuan masyarakat
sekitar lingkungannya. Ia mendatangkan bibit-bibit unggulan dari jenis ternak
dan produk pertanian. Ia memprakarsai budidaya ikan air tawar, dengan membuat
kolam-kolam kecil di sekitar rumah (Kurnia, 2007) dan domba Garut, dan kacang
holle. Ia pun mememberikan penyuluhan sistem bertani di tanah sengked (Darpan
& Suhardiman, 2007).
Dalam praktiknya, acap kali ia turun langsung untuk memberikan
penyuluhan pada warga. Namun setelah usahanya untuk berkeliling guna memberi
penyuluhan, terbukti tidak efektif dan efisien, akhirnya ia berkonklusi, bahwa
langkah yang solutif adalah memulai dengan menyentuh kesadaran masyarakat, agar
bisa membaca.
Tuan
Holla—begitu ia kerap disapa oleh masyarakat—termasuk salah seorang yang pertama
mencetak buku-buku bahasa Sunda, juga pengarsipan naskah-naskah Sunda kuna. Ia
juga dikenal sebagai ahli linguistik pada masa itu. Menurut Mikihiro Moriyama dalam Semangat
Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesasastraan Sunda Abad ke-19 (2013),
Tuan Holla juga ikut mengusahakan penulisan bahasa Sunda dengan aksara latin,
yang sebelumnya penggunaan aksara untuk menulis adalah aksara Jawa (cacarakan)
dan Arab pegon.
Perhatiannya
pada pendidikan orang Bumi Putra sangatlah besar. Atas saran darinyalah,
pemerintah kolonial mulai mencetak buku-buku sekolah bahasa Sunda. Demikian
pula, ia diberi kewenangan untuk menyortir (dengan bantuan Moesa) buku-buku
yang hendak diterbitkan (baik yang diterbitkan olehnya ataupun dikirim ke
percetakan milik pemerintah, Landsdrukkerij, di Weltevreden (Menteng).
Karel Frederik Holle (Gambar oleh Google) |
Namun
tulisan-tulisan yang dibukukan, kebanyakan adalah buah tangan para penulis yang
tinggal di sekitar daerah Holle, di Garut. Yang paling banyak dibukukan adalah
karya sahabat dekatnya, Moh. Moesa. Persahabatannya dengan Moesa telah lama
terjalin. Kedekatan ini ditambah dengan perkawinan Holle dengan saudara perempuan
Moesa, yang bernama Djoariah (Tom van den Berg, dalam Moriyama, 2013). Bagi
Moesa mungkin persahabatan ini sampai satutup umur, karena ia meninggal
di tahun (1886).
Karya-karya
tulis Holle sendiri, di antaranya Tjarita koera-koera jeung Monyét (bersama
A. W. Holle, 1851), Kitab Tjatjarakan Soenda no. 1 (1862), dan terbitan
berkala Mitra anoe Tani (1883), yang berisi informasi mengenai teknik
bertani, kadang jua memuat karya-karya sastra.
Holle
jatuh sakit di tahun 1879. Oleh karena itu, ia pergi ke Bogor dalam rangka
penyembuhan dan meninggalkan perkebunannya. Tak lama kemudian perkebuan teh “Waspada”
miliknya bangkrut. Setelah Holle sembuh, giliran Moesa yang jatuh sakit, hingga
meninggal. Enam tahun setelah ia pindah
ke Bogor, ia mendapat penghargaan bintang jasa Officerkruis van de Orde van
Oranje Nassau dari pemerintah Belanda. Holle sendiri tutup umur pada
3 Mei 1896. Untuk mengenang jasa-jasanya, dibangunlah monumen di
alun-alun Garut pada 29 Oktober 1899.
*) Tulisan ini tidak jadi dimuat di Media
**)Mahasiswa KPI (2013),
Aktif di Lembaga Pengkajian Ilmu
Keislaman (LPIK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
penikmat kesusastraan Sunda.
0 komentar:
Posting Komentar