Senin, 31 Maret 2014

“Selebihnya Memang Imajinasi”




 Selebihnya Memang Imajinasi
(Surahan bebas,  tinjauan tanpa berdasarkan teori kritik sastra manapun, atas  pambacaan cerita friksi Salju Kilimanjaro” Ernest Hemingway [I])

Oleh: Fikri A Gholassahma.

Tidak banyak dari yang dua pasang mata ini dapati setelah membaca karya pengarang besar E. Hmingwey, “The Snow of Kilimanjaro”. Hanya cerita berlatarkan padang savana Afrika, yang diisi oleh beberapa tokoh, Harry “si lelaki”, dan … “si perempuan”. Si lelaki yang terkapar dengan kaki membusuk akibat infeksi dari luka yang didapatinya ketika hendak memotret sekawanan bebek rawa. Si perempuan, yang dengan sabarnya menemani sang lelaki.  Ada dua pemuda pemandu, pilot kapal teman sang lelaki yang tak kunjung datang, dan sawangan si lelaki yang mengawang-ngawang.
Si lelaki adalah seorang penulis, yang sedang tak produktif. Si Istri adalah wanita kaya raya, yang sangat menyayangi suaminya. Dua pemuda pemandu perjalanan di Afrika itu, memang benar-benar pemuda (masih kurang pengalaman , hingga lupa mengecek kesediaan & keadaan kendaraan yang mereka tumpangi, yang mengakibatkan mogok).
Di sini Hemingwey, tidak menceritakan secara gamblang, perihal tokoh-tokoh yang membangun cerita fiksinya. Tak seperti kebanyakan yang pengarang lain lakukan, seperti misalnya dalam novel-novel atau cerpen, karya pengarang-pengarang  Indonesia, pada umumya. Bagi penulis yang masih awam akan hutan belantara sastra yang subur dan indah, ketika membaca karyanya ini, membuat penulis termenung lama. Walaupun tidak sampai menemukan nilai estetika murni yang terdapat dalam karya petingan Hemingwey ini. Tapi ada beberapa hal yang sangat menarik bagi penulis yang masih sangat awam ini. Mengingat ketika dalam kesempatan lain, penulis pernah mendapati perkataan Hemingwey, mengenai cerita fiksi…”Ya, selebihnya hanyalah imajinasi kita.” Begitu kurang lebihnya.
Ada perasaan yang begitu kuat, kala diri telah letih untuk menahan rasa sakit yang tak terhingga. Kala orang disekitar menjadi pelampiasan amarah, karena tak sanggup untuk marah. Ada hati yang dikorbankan, ada hati yang tersakiti. Ketika terbayang bagaimana tingkat kesabaran yang begitu tinggi, yang dimiliki sang istri, untuk menahan luapan kemarahan yang suaminya lampiaskan. Bak sebuah warna hitam yang nampak begitu jelas pada background kertas putih bersih. Ada kasih sayang dan cinta yang begitu kuat dan suci.
Nampak beberapa keanggunan yang kuat dalam karya Hemingwey ini. Seperti yang pernah ia katakan, dalam Death in The Afternoon, “Keanggunan gerak gunung es terjadi karena hanya seperdelapan bagiannya yang muncul di atas air.” Ada kalanya yang anggun akan Nampak begitu anggun, ketika hanya sebagian saja ia terlihat. Kiranya, di segi ini, ada kesepakatan bersama, untuk sebuah keindahan yang tak harus selalu nampak secara keseluruhan. Biarkan imajenasimu yang membuat ia begitu indah.
(***Bandung, 31 maret 2014. Tulisan ini sangat kacau, hanya sekedar ingin mengapresiasi saja terhadap karya petingan Ernest Hemingwey ini, selebihnya mudah-mudahan dapat menyusul seiring bertambah lebatnya rambut penulis).

0 komentar:

Posting Komentar